Dan aku melihat sebuah koper di ujung pintu masuk. Ayahku pergi malam itu.
Waktu menunjukkan pukul 00.53. Sudah sangat larut. Namun aku masih terjaga, berbaring sambil memandang langit-langit kamar yang sempit ini. Suara gemericik air hujan sesekali terdengar, membuat malam ini tidak terlalu sunyi.
Pikiranku menerawang ke 12 tahun yang lalu. Tepatnya saat aku duduk di bangku 2 SMP. Tidak banyak yang kuingat dari masa itu. Hanya beberapa kenangan pahit yang lukanya masih membekas hingga detik ini.
1998
Selama ini aku merasa semua baik-baik saja. Sampai suatu ketika aku didudukkan di sebuah kursi di ruang tamu dan ibuku berkata bahwa ia dan ayah akan berpisah. Aku memandang wajahnya, matanya bengkak. Sepertinya ia habis menangis hebat. Ibu memelukku erat, aku merasakan tubuhnya gemetaran. Aku mengerti perkataannya barusan. Perpisahan yang ia maksud pasti perceraian. Tapi aku sama sekali tak tahu apa alasan hingga mereka mengambil keputusan seekstrim itu. Karena sekali lagi, selama ini aku merasa semua sangat baik-baik saja.
Sambil terus memeluk ibuku, aku mencoba mengingat semuanya. Ayah dan ibuku memang jarang bertengkar. Setahuku begitu, entahlah. Mungkin mereka sering bertengkar tapi tidak di hadapanku. Tapi dari pengamatanku, aku yakin tidak ada masalah serius dalam hubungan mereka.
Ayahku adalah seorang ayah dan suami yang baik. Walaupun memang keras dan tegas. Ia sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya. Kebutuhan materi maupun nonmateri kami sekeluarga telah ia penuhi. Bahkan lebih dari cukup. Dia juga yang mengajarkanku tentang pentingnya kedisiplinan. Sesekali ia bergurau denganku. Kami tertawa bersama. Sikapnya pada ibu juga baik, walau terkadang cenderung posesif. Tapi aku rasa itu karena ayah sangat mencintai ibu. Tidak salah jika di mataku dia adalah sosok yang hampir sempurna.
Ibuku juga tidak jauh berbeda. Ia seorang istri yang patuh terhadap suami. Mungkin juga karena dipengaruhi sikap posesif ayah. Ia jarang keluar rumah sendiri. Kalaupun iya, hanya untuk urusan seperti berbelanja ke pasar atau membeli kebutuhan lain. Selebihnya ia selalu pergi bersamaku atau ayah. Ibu juga pintar masak. Aku dan ayah sangat suka masakannya, karena itu kami sekeluarga jarang sekali makan di luar. Bagi kami masakan ibulah yang paling lezat. Memang, tubuh ibu lemah dan gampang sakit, tapi aku rasa itu bukan suatu masalah. Karena ayah sudah tahu kondisi ibu sebelum mereka menikah.
Makanya, aku tak habis pikir. Bagaimana bisa dua orang yang sama-sama baik dan saling mencintai, memutuskan untuk berpisah? Bukankah hubungan mereka selama ini juga baik-baik saja? Lalu apa alasannya? Aku terus-menerus bertanya dalam hati.
Tiba-tiba Ibu melepas pelukannya. Membuatku sedikit terkejut dan menghentikan lamunanku.
“Sarah..”, ibu memanggil namaku sembari mengelus kepalaku lembut. Suaranya terdengar parau.
“Maaf untuk sekarang ibu ngga bisa menjelaskan apa alasan ibu dan ayah berpisah. Tapi suatu hari nanti kamu akan tau semuanya.”
Melihat keadaannya yang sangat rapuh, aku memutuskan untuk tidak bertanya apa-apa. Aku tidak ingin memaksanya saat ini, hanya akan menambah bebannya, pikirku.
Suasana menjadi hening sejenak, sampai ibu berkata,
“Kamu ikut ibu atau ayah? Ikut ibu aja, ya? Temani ibu? Ya, Sar?”
Pertanyaan yang sulit. Tapi aku tidak mungkin tega meninggalkan ibu sendiri. Sedangkan aku sangat tahu bahwa kondisi fisiknya lemah. Kuputuskan untuk ikut bersamanya, menemaninya.
“Aku ikut ibu”,
Dan sejak malam itu, aku tidak pernah melihat ayah lagi. Aku tinggal hanya berdua dengan ibu. Ini benar-benar kepergian dan perpisahan tiba-tiba yang meninggalkan setumpuk tanda tanya besar bagiku.
Pasca perceraian ibu dan ayah, keadaanku dan ibu berubah 180 derajat. Kami yang sebelumnya hidup serba cukup tiba-tiba harus berhadapan dengan kesusahan. Beberapa kali ibu mencoba bekerja. Mulai dari menjadi office girl hingga pembantu rumah tangga. Gaji tidak seberapa, namun harus mengeluarkan tenaga ekstra. Fisiknya yang lemah tidak mampu terus menopang, hingga ia kerap kali harus berhenti di tengah jalan. Aku yang saat itu masih SMP, tidak bisa berbuat apa-apa. Peringatan dari wali kelas karena terlambat membayar SPP pun sering kuterima. Ibu terpaksa harus hutang sana-sini agar kami tetap bisa bertahan, bisa makan walaupun seadanya.
Sering aku mendapati ibu sedang menangis di kamar sambil memandangi foto ayah, namun tidak lama ia menjerit dan mengumpat. Aku hanya bisa menangis melihat keadaannya. Pasti ibu merasa sangat menderita, belum sembuh lukanya karena berpisah dengan ayah, ditambah lagi sekarang harus hidup susah. Sebenarnya keadaan seperti ini tidak perlu kami alami kalau saja ibu mau menerima uang kiriman dari ayah. Namun entah kenapa ia bersikeras menolak semua pemberian dari ayah. Beberapa kali ayah datang ke rumah untuk menjengukku, tapi ibu selalu mengusirnya. Bahkan tiap kali aku membicarakan tentang ayah, raut wajah dan tatapan ibu selalu berubah jadi mengerikan, seakan ia ingin mengubur seseorang hidup-hidup. Tapi ah, aku mencoba mengabaikannya, mungkin hanya perasaanku saja.
Keadaan memburuk. Ibu jatuh sakit. Ia tidak lagi bekerja, hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur. Kami berdua benar-benar tidak mempunyai uang saat itu. Kami kelaparan dan ibu pun memerlukan pengobatan. Aku membujuk ibu untuk meminta bantuan dari ayah, namun ia malah murka.
“Jangan sebut tentang dia di depanku! Sepeserpun aku tak sudi memakai uangnya!” bentaknya.
Aku sangat terkejut. Mengapa ibu jadi sebegini bencinya pada ayah.
“Aku tak sudi melihat lagi wajahnya yang busuk itu!”
Aku tercengang mendengar semua ucapannya. Badanku seketika lemas. Tak pernah aku melihat sikap ibu yang seperti ini. Bahkan sebelumnya ia jarang sekali marah.
“Kenapa ibu ngomong gitu? Kenapa bu? Kenapa? Ayah salah apa”, aku bertanya sambil menangis.
“Diam!!!” teriaknya. Lalu menjerit-jerit seperti orang gila.
Aku terpaksa patuh. Memaksa dan terus bertanya hanya akan memperburuk keadaannya. Walau di pikiranku terisi banyak pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Aku berniat menghubungi ayah diam-diam, namun apa daya aku tidak tahu nomor telepon atau alamat ayah. Ayah pun tak pernah datang ke rumah lagi. Mungkin jenuh karena selalu diusir oleh ibu. Untung saja rumah yang kami tinggali adalah rumah orangtua ibu, kalau saja rumah ini punya ayah, pasti ibu tidak akan mau tinggal disini lagi dan kami harus tinggal di jalan. Keadaan kami berdua benar-benar pelik, aku tak bisa dan tak boleh minta bantuan ayah, saudara ibu yang aku tahu hanya tante Mia, kakak dari ibu, sedangkan nenek dan kakekku sudah meninggal. Namun meminta bantuan pada tante Mia rasanya sangat tidak mungkin. Setahun yang lalu ibu pernah cerita bahwa tante Mia meninggal setelah sebelumnya masuk rumah sakit jiwa. Akhirnya aku terpaksa meminta belas kasihan para tetangga. Beruntung beberapa bersedia membantu, memberi makanan dan sedikit uang. Namun hal itu memang tidak cukup membuat keadaan jadi membaik. Malah penyakit ibu makin parah karena tidak menerima perawatan dan obat yang memadai. Ia tak mampu lagi bertahan. Dan akhirnya Ibu pergi, selamanya. Meninggalkanku sendirian dalam keterpurukan ini.
*
Sudah 5 tahun sejak kepergian ibu. Kalau saja aku melanjutkan sekolahku, mungkin aku telah lulus SMA. Sebenarnya beberapa waktu setelah ibu meninggal, wali kelasku datang ke rumah, menyusulku karena aku sudah 2 minggu lebih tidak masuk sekolah. Setelah aku menceritakan semuanya, ia berniat untuk mengadopsiku. Namun aku menolak. Ibu guruku terus memaksa. Aku yang saat itu benar-benar sedang terguncang dan labil, dipaksa seperti itu aku menjadi murka.
“Aku bilang ngga! Pergi! Pergi!!!”
Akhirnya sejak saat itu aku pun putus sekolah. Aku tidak terfikir apa-apa. Aku merasa tidak ada gunanya lagi hidup di dunia. Yang kulakukan hanya berdiam diri di dalam rumah sambil menangis sepanjang hari. Semua tetangga dan teman yang berdatangan dan menawarkan untuk membantu, aku usir. Aku tidak ingin bertemu siapa-siapa. Aku tidak ingin melakukan apa-apa. Sampai puncaknya suatu hari aku berniat bunuh diri tapi kubatalkan karena ternyata aku masih takut mati. Akhirnya sejak saat itu aku memutuskan untuk melanjutkan hidupku. Aku pergi dari rumah, karena jika aku tetap tinggal disitu, aku tidak akan lepas dari bayang-bayang masa lalu.
Saat itu aku kerja serabutan, mengamen, sampai mengemis. Tapi beruntung aku bisa bertahan hingga saat ini, hingga umurku 18 tahun. Selama hidup di jalan, aku merasakan betapa keras dan kejamnya dunia ini. Persaingan antar pengamen dan pengemis yang sering berakhir dengan penganiayaan. Beberapa kali aku dan kawan-kawan senasib dipukuli oleh preman yang menaungi pengamen dan pengemis dari kelompok lain. Dari hari ke hari berlangsung seperti itu hingga akhirnya aku menjadi terbiasa bahkan bisa melawan dan lebih kejam dari mereka. Semua proses ini membentuk diriku menjadi orang yang berhati dingin. Tapi toh, aku rasa ini cara terbaik untuk bertahan hidup. Hidup di jalanan seperti ini memang tidak boleh lemah dan jangan mempercayai orang lain. Bahkan kawan sekalipun. Karena sewaktu-waktu mereka bisa menjadi lawan yang bisa saja membunuhku.
*
Siang itu terasa panas. Aku bersantai di bawah pohon di sebuah taman dekat dengan terminal tempat aku biasa mengamen. Tiba-tiba aku teringat ibu. Aku merindui dia. Beribu pertanyaan usang kembali muncul di otakku. Kenapa dia pergi begitu cepat, kenapa dia meninggalkanku sendirian, kenapa ayah tak pernah mencariku, kenapa aku harus mengalami hidup seperti ini. Kalau saja ayah dan ibu tidak berpisah, aku tidak akan begini.
Kuputuskan untuk mengunjungi rumahku yang telah lama kutinggalkan. Kuberanikan diri, karena aku benar merindui ibu. Disana aku bisa mengambil fotonya untuk kusimpan. Karena dulu saat aku pergi, aku tidak membawa apapun. Sesampainya di rumah, ternyata keadaannya tidak banyak berubah. Hanya terlihat usang tidak terawat karena tidak ada yang meninggali. Dengan agak ragu aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Merinding juga rasanya. 5 tahun rumah ini kosong dan sekarang aku disini sendiri. Aku hendak menuju kamarku dulu, tapi ketika melewati kamar ibu, entah mengapa aku memutuskan untuk masuk kesitu.
Keadaan di kamar ibu masih sama seperti dulu. Bahkan posisi tiap barang juga tidak berubah. Aku memang tidak pernah masuk ke kamar ibu lagi semenjak ia meninggal. Aku duduk di tempat tidur ibu dan mulai mengamati seluruh bagian ruangan. Pandanganku terhenti pada sebuah amplop putih yang terselip di tumpukan baju yang berada di atas meja. Aku terdiam sejenak. Aku mencoba mengingat, sehari sebelum ibu meninggal, aku memang baru saja menstrika baju, termasuk bajunya. Aku biasa meletakkan bajunya yang sudah kusetrika di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Karena ibu lebih suka menata bajunya sendiri di lemari. Akhirnya kuambil amplop itu.
“Apa ini?”, gumamku dalam hati.
Kubuka amplop itu, di dalamnya terdapat sebuah kertas. Sepertinya surat. Ternyata benar. Aku membacanya perlahan dan teliti. Sepanjang membaca, badanku gemetar, bulu kudukku merinding, peluhku jatuh satu-persatu dan aku menangis, perasaanku bergemuruh.
“Biadab! Biadab!!!”
Aku langsung berlari meninggalkan rumah. Dengan perasaan yang dipenuhi amarah aku kembali ke rumah kardusku di kolong jembatan. Semalaman aku diam dan berpikir, sambil terus mengumpat, “Biadap! Brengsek! Lo ngga akan selamat! Lo ngga akan selamat!!!”
Esok harinya, aku pergi ke sebuah perumahan di kawasan Bendungan Hilir, tepatnya ke alamat yang ditulis d dalam surat itu. Mataku terus tertuju pada sebuah rumah besar bercat hitam abu-abu. Aku mengamati dari jauh. Menunggu hingga tanpa terasa sore menjelang dan hari mulai gelap. Tiba-tiba sebuah mobil datang dan masuk ke rumah tersebut. Nampak seorang pria paruh baya keluar dari mobil. Aku sangat ingat wajah itu. Wajah si biadab!!!
Aku kembali ke rumah kardus dan bergegas mencari seorang preman di daerah situ dan berbincang dengannya.
“Lo ada ngga, Bang?”, tanyaku.
“Emang buat apa lo nyari barang gituan?”, ia balik bertanya dengan wajah serius.
“Gue ada perlu. Penting banget. Bakal gue bayar. Gue ada simpenan 500rb. Please, pinjemin gue.”
“Oke. Karena lo uda gue anggap ade gue sendiri, bakal gue pinjemin. Tapi kalo kejadian apa-apa, jangan bawa-bawa gue.”
“Iya, Bang. Gue janji”.
Malamnya,
“Besok lo akan dapetin pembalasan atas semua kebiadaban lo!!! Demi ibu, gue pasti bunuh lo! Lo mesti mati di tangan gue!!” aku menahan amarah, tapi entah mengapa aku juga menangis. Setelah itu aku tidur sangat nyenyak. Benar-benar nyenyak. Sebelumnya aku belum pernah tidur senyenyak ini.
*
Aku sedang duduk sambil memegang foto ibu ketika seorang penjaga datang ke kamarku.
“Sarah Inggrid, keluar!” seru penjaga sembari membuka gembok jeruji.
“Aku pergi dulu, Bu. Aku udah melakukannya. Ibu tenang aja, aku udah menembaknya.” kucium foto ibu lalu kuletakkan di atas kasur.
Kutinggalkan kamar sempit itu dan penjaga menuntunku menuju ruang sidang.
Suasana tidak begitu ramai. Hanya terdapat seorang hakim dan jaksa penuntut. Tidak ada pengacara untukku, karena aku memang tidak perlu pembelaan.
Akhirnya hakim membacakan putusannya, “Dengan ini memutuskan bahwa Saudari Sarah Inggrid Hartanto terbukti bersalah karena melakukan pembunuhan berencana terhadap Dedi Hartanto hingga mengakibatkan kematian. Maka terdakwa dihukum kurungan penjara seumur hidup”
Aku menutup mata, lalu tersenyum. Puas.
***
29 Juni 1998
Sar, ibu sudah tidak sanggup bertahan. Ibu benar tidak mau harus meninggalkan kamu sendiri. Tapi ibu benar-benar sudah tidak kuat. Sar, dulu ibu pernah berjanji akan menceritakan padamu alasan kenapa ibu dan ayahmu berpisah. Sekarang ibu akan menceritakan semuanya. Setahun yang lalu, Tantemu, Mia, tiba-tiba mengalami gangguan kejiwaan. Ia seperti orang gila. Akhirnya ayah dan ibu memasukkannya ke rumah sakit jiwa. Karena keadaannya sudah semakin parah, ditambah lagi ia belum menikah, jadi tidak ada yang mengurusnya kalau dia tetap tinggal di rumahnya. Namun tidak lama setelah masuk ke RS, Mia bunuh diri. Ibu sangat sedih dan terpukul saat itu. Ibu pun tidak tahu apa sebenarnya yang menyebabkan Mia menjadi gila. Sampai suatu hari, tepatnya 5 bulan lalu, 2 hari sebelum ayah dan ibu berpisah, ketika kami berdua bertengkar hebat. Ayahmu menuduh ibu berselingkuh dengan teman kerjanya, Doni, yang beberapa kali pernah berkunjung ke rumah kita. Ibu membantah, karena ibu memang tidak melakukannya. Namun ayahmu tetap menuduh ibu bahkan berkata bahwa ibu adalah wanita murahan.
“Kamu memang wanita murahan. Sama persis seperti kakakmu yang mati konyol itu.”
Ibu sangat terkejut mendengarnya. “Apa maksudmu???”
“Hahaha. Kakakmu sudah berumur 40 lebih tapi masih saja belum menikah. Lalu ia datang mengemis padaku untuk dicarikan lelaki untuknya. Aku pikir daripada mencarikan, kenapa tidak aku saja. Lagipula kau penyakitan dan sudah tidak bisa melayaniku. Akhirnya kami menjalin hubungan tanpa sepengetahuanmu. Sialnya, dia hamil. Dan dia minta aku menikahinya. Aku menolak, namun dia terus memaksa. Karena geram, akhirnya aku mengancamnya. Jika dia tetap memaksa, aku akan membunuhmu. Ternyata dia tidak tega juga adiknya dibunuh, padahal dia telah mengkhianatimu. Akhirnya dia membatalkan tuntutannya dan aku menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya agar tidak ada orang yang tahu tentang hubungan kami. Kakakmu memang bodoh, ia menuruti perkataanku. Namun tidak lama setelah itu, ia merasa bersalah terhadapmu dan juga bayinya. Tapi ia tidak juga berani jujur kepadamu karena aku terus mengancamnya. Akhirnya dia pun menjadi gila, bahkan bunuh diri. Kebodohan kakakmu benar-benar menguntungkanku. Hahaha”
“Biadab. Teganya kamu! Dasar bajingan!!!”
Ibupun minta berpisah dengan ayahmu. Ayahmu mengabulkan dengan syarat ibu berjanji tidak akan menceritakan hal ini kepada siapapun, termasuk kamu. Akhirnya kamipun bercerai. Sar, ibu benar-benar tidak terima diperlakukan begini oleh bajingan itu. Bukan hanya ibu, tantemu pun diperlakukan serupa, bahkan lebih kejam. Ibu ingin membalas dendam, tapi ibu merasa waktu ibu tidak banyak lagi. Jika kamu sudah membaca surat ini, balaskan dendam ibu, nak. Balaskan dendam Mia. Dialah yang membuat kita sengsara. Biarkan dia merasakan apa yang kita rasakan..”
You may also like
-
The President of Indonesia Expected the Announcement of Civil Servant’s Increased Salary
-
How to Be a Great Public Speaker
-
Skill Penting yang Harus Dimiliki Oleh Mahasiswa untuk Mempersiapkan dan Menghadapi Persaingan Dunia Kerja
-
PRESIDENT JOKOWI DISTRIBUTES Rp800 BILLION FOR LAMPUNG INFRASTRUCTURE IMPROVEMENT
-
Bahaya dari Kecerdasan Buatan ChatGPT Terhadap Lingkungan yang Belum Siap