berprestasi. Katalisator ini adalah sikap. Jika sikap kita benar, kemampuan
kita mencapai keefektivan maksimal dan
hasil yang baik akan mengikuti (Prof. Erwin H.
Schell)
Nurani menghela napas panjang. Tak
pernah ia merasa selelah ini. Biasanya, remaja wanita itu hanya mengantarkan
koran ke tiga komplek perumahan. Tapi hari ini Aray sakit. Mau tidak mau ia
harus menggantikan tugas sahabatnya itu. Tambahan lima komplek perumahan dan ia hanya memiliki
waktu dua setengah jam untuk
mengantarkan semua koran.
sudah merambat naik saat semua koran berhasil diantar Nurani kepada para pelanggan.
selesai juga,” cetus Nurani sambil melirik jam tangan pemberian almarhum
ayahnya saat ia berusia delapan tahun.
udah jam tujuh kurang, mesti buru-buru nih biar nggak terlambat ke sekolah. Berangkaaaaaaaaaaaaat!” teriak remaja
berkuncir dua itu sambil mulai mengayuh sepeda butut merah yang catnya sudah
banyak mengelupas.
aku hari ini nggak masuk sekolah, ya. Kepalaku pusing banget.” Pagi ituAstrid mencoba merayu ibunya agar
mengijinkannya bolos sekolah.
sudah. Makanya kamu jangan kebanyakan main. Mama perhatiin kamu sering banget
ke mall akhir-akhir ini,” jawab sang ibu.
besok-besok nggak lagi kok, Ma.” Astrid tersenyum lebar sebelum kembali
meringkuk di balik selimut hangatnya. Tidur.
tolong sampaikan ke ibumu agar segera melunasi tunggakan bukumu.”
Saidah yang memanggil Nurani ke ruang guru. Wali kelasnya itu memang sudah
seringkali mengingatkannya. Tapi, Nurani
dan ibunya memang belum mempunyai uang untuk membayar. Mau
bagaimana lagi? Untuk makan sehari-hari
saja sulit. Beruntung Nurani mendapat beasiswa karena prestasinya di sekolah
sehingga bebannya sedikit berkurang karena tidak harus membayar SPP.
adalah sulung di keluarganya. Adiknya hanya seorang, perempuan juga. Ayahnya sudah meninggal tiga tahun lalu setelah menderita stroke hampir enam bulan lamanya. Ibunya seorang kuli cuci.
Ya, kuli cuci. Semua orang tahu berapa penghasilan yang didapat seorang kuli
cuci.
Bu. Saya usahakan melunasinya akhir bulan ini. Insya Allah,” ucapnya setengah
yakin.
keluar dari ruangan guru dengan langkah gontai.
besok pulang sekolah kita ke mall, yuk. Udah lama nih nggak makan pizza. Gue
lagi pengen banget.” Kata Astrid di sela-sela obrolannya dengan seorang teman
melalui handphone Blackberry Gemini-nya.
tuh, sekalian belanja!” jawab suara di seberang. Pemilik suara itu adalah Rana.
Sahabat sekaligus teman sebangku Astrid di kelas sepuluh SMA Internasional
Tunas Muda.
atur aja. See you tomorrow, Ran!”
telepon pun dimatikan. Klik!
Bu Saidah kemarin terus terngiang di telinga Nurani. Seakan tidak membiarkannya lupa barang sedetik pun. Membuatnya makin
gelisah. Darimana ia bisa mendapatkan
uang untuk membayar tunggakan bukunya itu? Dua ratus empat puluh ribu rupiah.
Hal lain yang membuat ia makin panik adalah bahwa ia hanya punya waktu dua
minggu untuk melunasinya.
memutar otak. Sesekali bola matanya
terlihat bergerak ke atas dan ke bawah. Apa yang harus kulakukan, Ya Allah? tanyanya dalam hati.
beberapa waktu berpikir keras, akhirnya Nurani mendapatkan sebuah
pencerahan. Gadis itu mengangguk pasti
menandakan betapa optimisnya ia. “Bismillah!” ujarnya seraya bangkit
dari bangku kayu berwarna cokelat yang terletak di teras rumahnya.
Nur keluar dulu sebentar, ya. Assalamu’alaikum.” Nurani melangkahkan kaki
menuju suatu tempat yang ia percayai
bisa memberikan jalan keluar atas kebuntuannya.
mengeluarkan sepedanya. Aku harus
semangat, batinnya sambil mulai mengayuh. Dari awal Nurani sudah bertekad
bahwa kemiskinannya tidak boleh menghalanginya untuk sekolah dan berprestasi. Justru
kemiskinan itulah yang menyadarkannya bahwa ia harus lebih giat dari mereka
yang berkelebihan. Jika mereka bangun jam lima pagi, Nurani akan bangun lebih
pagi. Jika mereka belajar selama dua jam, Nurani akan belajar empat jam.
mau tas itu. Sumpah, keren abis! Merek Channel, Ran!” jerit Astrid histeris saat ia berada di sebuah mall dan
melintasi factory outlet tas.
gue harus beli tas itu!”lanjutnya berapi-api.
beliin aja sama mama lo. Pasti dibeliin, kan? Lo kan anak tunggal. Anak
kesayangan.” Rana mencoba memberi saran.
gampang. Nanti balik dari sini, gue langsung bilang. Rayu dulu dikit,
hahaha.”
tadi Astrid ke mall, terus liat tas baguuuus banget. Beliin ya, Ma. Mama baik
deh.”
ini, kan udah janji nggak main ke mall dan belanja sering-sering.” Ibunya
mencoba menasehati. Tangan wanita itu tampak sibuk memindahkan makanan yang
baru matang dari dapur ke meja makan.
Mama kok gitu. Ma, beliin dong, katanya mama sayang sama aku. Astrid udah dua
bulan lebih nggak beli tas. Masa iya pakai tas yang sama terus?” Astrid terus melancarkan rayuan, berharap sang mama
mengabulkan permintaannya.
tidak ingin membuat putrinya kecewa, sang ibu pun akhirnya berkata, “Ya
sudah, nanti mama kasih uangnya. Tapi janji ya belajarnya harus rajin!”
kali ini saja rayuan Astrid berhasil. Kalimat
andalan seperti “Katanya
Mama sayang sama aku, atau katanya aku anak kesayangan Papa” telah dan selalu berhasil membuat hati kedua orang
tuanya luluh. Mau tak mau menuruti semua
permintaan anak semata wayangnya itu. Walaupun mereka tahu bahwa tindakannya itu akan membuat sang anak
menjadi semakin manja.
kan?
tambah miskin, si Kaya makin bergelimang harta. Tapi nyatanya uang tak selalu mampu
berbicara.
temannya Aray, ya?” tanya Mang Jajang. Lelaki berusia empat puluh tahun
lebih itu sedang duduk di dipan bambu di pinggir jalan samping tempat pencucian
motornya.
Mang. Nama saya Nurani, biasa dipanggil Nur.” jawab Nurani sambil
tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang putih dan tersusun rapi. Nurani
tampak begitu manis dengan kaos oblong tangan panjang berwarna merah, celana
bahan bermotif batik, juga sebuah topi bertuliskan salah satu brand surat kabar terkemuka yang ia
dapat dari agen.
yakin bisa? Seingat Mamang, Aray pernah cerita bahwa pagi kamu harus mengantar koran lalu sekolah sampai
siang hari, terus mengantar cucian ke
pelanggan ibumu. Kalau kamu mau bekerja disini juga, terus kapan kamu
belajarnya?”
biasa belajar pas malam sebelum tidur, Mang. Sesudah shalat subuh saya belajar lagi, baru mengantarkan koran.
Saya bisa mengatur waktu kok, Mang. Saya benar-benar butuh pekerjaan ini.” Nurani berharap Mang
Jajang bersedia memberikan pekerjaan itu padanya.
mempertimbangkan, akhirnya Mang Jajang memperbolehkan Nurani menjadi salah satu
karyawan di tempat steam motor
miliknya yang cukup besar dan terkenal
di daerah Sumur Bor.
sudah, boleh. Tapi janji ya, sekolah jangan sampai terbengkalai.”
iya Mang. Makasih ya Mang, makasih.”
sama-sama. Mulai besok kamu udah bisa kerja, masuk jam tiga sore pulang jam
delapan malam. Saya kasih kamu upah sehari dua puluh ribu. Kerja yang rajin.
Sekolah juga yang rajin, Biar nanti bisa jadi orang sukses yang bermanfaat!”
papar Mang Jajang.
Allah, Mang. Sekali lagi makasih. Saya akan berusaha. Saya pamit, Mang.
Assalamu’alaikum,” sambil melangkah, diam-diam Nurani menghitung. Dua
ratus empat puuluh ribu dibagi dua puluh ribu sama dengan dua belas. Berarti ia bisa membayar tunggakan bukunya dalam
waktu dua belas hari. Ia mulai berjalan
pulang sambil menyunggingkan senyum kelegaan.
Mang Jajang menatap Nurani yang telah berlalu semakin jauh. Dalam hati ia memuji
gadis kurus tomboy itu. Anak yang luar
biasa.
yang tak kenal Astrid? Di SMA Internasional Tunas Muda, namanya begitu tersohor. Bukan karena prestasinya dalam
bidang akademik maupun nonakademik, melainkan karena orang tuanya adalah
penyumbang dana terbesar di sekolah
tersebut. Ditambah kebiasaannya yang sering memamerkan barang-barang bermerek
yang ia miliki, seperti tas, sepatu, dan
lain-lain kepada teman-temannya. Belum
lagi kisah cintanya dengan beberapa murid laki-laki.
kedua orang tua Astrid berharap banyak pada gadis berusia enam belas tahun itu.
Semua kebutuhan Astrid dipenuhi dengan baik―sangat
baik malah. Fasilitas mobil lengkap dengan supir yang siap mengantar
dan menjemput kapan pun, internet dua
puluh empat jam di komputer kamarnya yang
disediakan dengan tujuan untuk memudahkan Astrid mengerjakan tugas sekolah, dan uang saku yang berlebih.
Sayangnya, semua itu ternyata tidak
mampu membuat Astrid memberikan timbal
balik yang membanggakan orangnya.
penting dari fasilitas.
udah makan?” Aresha meletakkan sebuah kantong plastik hitam di meja makan
dekat dapur. Ia baru saja pulang dari tempat Mang Jajang.
Kamu? tumben malam banget pulangnya, lagi ramai di tempat cuci motornya, Nur?”
tanya ibu sembari menggosok baju seragam kedua putrinya dengan setrikaan
listrik berwana abu-abu yang beberapa bagian dari bungkus kabelnya sudah
terlepas.
kok tadi. Iya, tadi rame banget, Bu. Tapi Alhamdulillah, Nur jadi dapet upah tambahan. Oia, Nur bawa jeruk, tadi
pas pulang mampir ke toko buahnya Mbah Sri. Ibu makan, ya. Nur mau shalat isya dulu.”
selesai gosok Ibu kupasin. Tinggal lima baju lagi.”
lama semua pakaian telah rapi. Ibu
mengambil kantong berisi jeruk dan dua buah dikupasnya, lalu diletakkan di
sebuah piring plastik kecil berwarna hijau. Sambil menunggu Nurani selesai shalat, ia duduk dan
merenung. Melihat anaknya pulang dengan
wajah yang kelihatan lelah, membuat ia merasa bersalah. Anaknya yang satu itu memang tidak pernah mengeluh,
tapi ia tahu bahwa Nurani pasti merasa tertekan menanggung semua beban yang
sebenarnya bukanlah tanggung jawabnya. Nurani yang masih remaja harus bekerja
keras untuk membantunya menafkahi
keluarga ini. Upahnya sebagai kuli cuci memang
jauh dari cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka bertiga. Ingin rasanya ia mencari pekerjaan tambahan, namun
umurnya yang sudah jauh dari muda dan
tubuhnya yang lemah, membuatnya mengurungkan niatnya tersebut. Lagipula, Nurani
pun melarangnya bekerja di luar.
bengong, Bu?” Suara Nurani mengagetkan ibunya yang tengah asyik merenung.
ngagetin ibu aja, Nur.” Ibu mengambil kulit jeruk dan berjalan menuju
dapur untuk membuang kulit tersebut ke tong sampah. “Dimakan jeruknya, Nur. ” Ujar
ibu setengah teriak dari dapur.
Ibu ngapain malem-malem gini bengong. Awas ada yang nyambit loh, Bu. Eh
nyambet, hehehe.” Nurani tertawa geli sehabis menggoda ibunya.
kamu ini jangan ngeledek ibu terus. Makan jeruknya yang banyak biar sehat!”
nyengir saja. “Oia, Sarah udah tidur, Bu?”
tadi dia abis ngerjain PR dan shalat isya langsung tidur.”
ghidu. Yaudah yug maan jerugnya, Bhu,” ucap Nurani sambil mengunyah. Kata
yang ia ucapkan menjadi aneh karena mulutnya dipenuhi jeruk.
Ya sudah kamu juga jangan ngomong sambil makan jadi aneh gitu kata-katamu, Nur.
Kaya makhluk-makhluk di luar angkasa sana.”
kaya pernah ketemu makhluk luar angkasa aja.”
tertawa. Dan malam pun semakin larut.
semakin kaya, miskin semakin papa
Kalian dapat berlindung di balik ocehan nasib dan samsara
Kami akan berdiri di sini, tak sendiri, hingga nafas penghabisan
Serupa kesabaran terakhir para buruh di palang pintu pabrik
Serupa panen terakhir para petani penggarap
Serupa tengat miskin kota di ujung penggusuran
Serupa harapan mereka yang tak bisa lagi berharap
Serupa pilihan terakhir keluarga korban kekerasan negara
Serupa rahim setiap ibu yang melahirkan para kombatan yang menantang setiap
tiran di titik nadir perhitungan
akan bangun kembali godam dari reruntuhan dan berangkal harapan
Keyakinan yang menyaingi semua manual langitan
Esok akan terlalu terlambat, hari ini atau tidak sama sekali!
Meski kalian coba bunuh kami berkali, kami akan lahir berkali bergenerasi!
You may also like
-
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto Membantah Rumor Konflik dengan Kementerian Pertanian
-
Rekomendasi Serial Baru: Get Rich, Murid vs. Sekolah
-
Transformasi DKI Menjadi DKJ: Jakarta sebagai Pusat Ekonomi Indonesia
-
Penutupan Total Kawasan Wisata Bromo Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan, Apa Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia?
-
SRI MULYANI REVEALS LATE SALARY OF TEACHERS AND HEALTHCARE PROFESSIONALS