UK Replica Watches Hot Sale,70% OFF & Free Shipping,replica watchesAvailable With Remarkable Rolex, Omega, Breitling, Hublot Fake Watches And Other.

Replika Órák - Olcsón Rolex replika órák Minősége Óra Webáruház Akciós

Wer verkauft die besten Replik-Rolex-Uhren? Alle Antworten finden Sie auf unserer Website replica uhrenwerden Sie auch ihre Vintage-Luxus-Replik von Rolex King Midas sehen.

HILANG

Oleh : Andini Nova*



“Aku takut, Resh. Kata mama paru-paruku lemah, jadi harus ke dokter. Kamu ikut kan?”


“Sekali lagi lo ganggu Rasha, mati lo!”

“Kamu ngga akan pernah ninggalin aku kan, Resh?”

“Kita itu muncul ke dunia ini bareng, Rash. Jadi kalau mau ninggalin dunia juga harus bareng.”



***
Bogor, 16 Juni 2010


Pada akhirnya, aku harus menyadarkan diri sendiri bahwa musim berganti dan waktu berjalan.


Langit seperti sedang bersenda gurau. Lima menit yang lalu, terangnya sungguh membuat mataku silau. Sekarang ia justru terlihat hitam pekat. Angin mulai berhembus kencang menerpa wajahku. Dingin. Petir seakan tak mau kalah, ia bersahut-sahutan seperti seorang ibu yang memanggil anaknya agar segera pulang. Mendung, angin, dan petir. Bagiku, mereka seperti prajurit yang mengiringi kedatangan raja langit. Ya, siapa lagi kalau bukan ―hujan? Hujanmu sebentar lagi turun, Rash.


Kupercepat langkahku menyusuri deretan pertokoan di Jalan Padjajaran yang bangunannya bergaya minimalis dan modern. Kawasan pertokoan paling lengkap di Kota Bogor―katanya. Kulihat banyak kendaraan yang berlalu lalang dengan lambat di jalanan serta beberapa angkutan kota yang asyik ngetem. 


Tidak begitu sulit untukku menemukan toko bernama Rumah Hujan. Toko berdesain paling heboh dibanding toko-toko lain di sekitarnya. Halaman depan Rumah Hujan dipenuhi tanaman hijau, dindingnya terbuat dari kaca dengan air yang mengalir seperti hujan, payung-payung warna-warni yang terbuka dan menggantung ikut meramaikan, juga sebuah jembatan kayu dimana kolam kecil berisi beberapa ikan hias berenang di dalamnya. Aku melangkah menuju pintu.


“Selamat datang, Teh. Ada yang bisa saya bantu?”, kata wanita penjaga toko selepas aku masuk.


“Saya mencari ini.” Kusodorkan secarik kertas yang bentuknya sudah tak karuan penuh lipatan setelah hampir dua tahun kusimpan di dalam dompet.


Wanita setengah baya itu membaca dengan serius kertas yang tadi kuberikan. Kepalanya terlihat mengangguk-angguk kecil.


“Novel Ketika Hujan, album Kiss The Rain dari Yiruma, payung putih transparan ukuran sedang, dan foto hujan di Kota Bogor?” tanyanya.


“Seperti yang tertulis disitu.”


“Sebentar, saya cek dulu ya, Teh.” Ia tersenyum tipis sebelum menghilang dalam puluhan rak besar yang berdiri gagah.


“Ya.” Jawabku singkat dan langsung mengedarkan pandangan ke semua sudut toko ini.


Inikah Rumah Hujan yang kau ceritakan padaku, Rash? Aku sedang membeli pesananmu waktu itu. Akankah kau kembali untuk mengambilnya?


***


Hidup bersamamu sudah membuatku cukup, yang lain aku tak peduli.


“Wah, udah pulang, Resh? Ketemu nggak buku yang kupesan?”


“Ketemu. Nih.” Rasha terlihat girang membuka paper bag warna coklat berisi sebuah buku antologi puisinya Sapardi Djoko Damono yang barusan kuserahkan.


“Asyik, makasih ya, Resh.“


“Ya. Mbak Yos mana? Aku lapar.”


“Di dapur. Dia juga lagi masak untuk makan malam kita, kok. Tunggu aja.”


“Kamu juga belum makan?”


“Belum, tadi aku tidur.”


“Oh. Baguslah, banyak istirahat, tapi jangan lupa makan juga ya.”


“Siap, Komandan Aresha Gumilang!”


Kami tertawa berbarengan.
***
Koridor lantai dua SMA Nusa Bangsa terlihat ramai. Jam istirahat seperti ini adalah saatnya para siswa sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang makan, minum, bergosip, tertawa terbahak-bahak, main basket di lapangan utama, dan ada juga yang sepertiku―melamun.


Orang bilang melamun adalah saat dimana setan akan dengan mudahnya memasuki alam pikiran seseorang. Entahlah. Biarkan saja setan itu melakukan apa maunya, dan aku melakukan apa mauku. Aku sedang mau melamun. Jika setan mau memasuki pikiranku, terserah. Mungkin kita bisa melamun bersama.


Bukankah kau hanya akan muncul dalam lamunanku, Rash? Tapi kenapa sekarang kau tidak muncul? Ah, aku lupa. Hujan sedang tidak turun.


***


Meskipun hidup membawaku pergi jauh, aku akan selalu memikirkanmu.


“Mama sama papa kapan pulang dari Jambi?” tanyaku sambil mengunyah kentang goreng rasa barbeque yang tadi siang kami beli saat aku dan Rasha berbelanja ke minimarket dekat rumah.


“Minggu depan, katanya.“ Rasha terlihat lucu mengenakan piyama bermotif tetesan air. Rambutnya yang panjang sebahu terurai dengan indah. Berbanding terbalik dengan rambutku yang selalu dikuncir.


“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya tiba-tiba.


“Hah? Nggak. Piyamamu lucu. Masa motifnya tetesan air. Sandalmu lebih lucu lagi, genangan air? Apa maksudnya itu?” kataku menahan tawa.


“Biarin. Kamu kan tau aku suka banget sama hujan. Perhatiin dong, kalau piyama dan sandal ini kupakai barengan, terlihat seperti hujan yang turun dan akhirnya jatuh dan menjadi genangan air, bagus kan?”


“Banjir maksudmu? Hahaha. Dasar wanita hujan. Kenapa sih suka banget sama hujan?”


“Isshhh! Hujan itu menenangkan, Resh. Masa kamu nggak ngerasain, sih?”


“Nggak, tuh,” jawabku enteng sambil menggeleng pelan dan menunjukkan wajah sedikit meledek.


“Huh! Dasar nggak peka! Pokoknya aku suka hujan. Hujan selalu indah buatku. Suaranya, dinginnya, cara ia jatuh, bagaimana ia mengalir…,” Rasha memejamkan mata saat mengatakan kalimat itu. Benar-benar wanita hujan. Dari kami masih di sekolah dasar pun, kecintaannya terhadap hujan sudah gila-gilaan. Sekarang sepertinya makin parah.


“Iya, deh.“ Jawabku sambil terus mengunyah.


“Kamu tau ngga, Resh?”


“Hm?”


“Hujan itu seperti lubang waktu. Ia mampu mengembalikan romansa masa lalu. Kalau nanti pas aku udah nggak ada, terus kamu kangen, tunggu aja hujan turun. Aku pasti muncul, dalam ingatanmu, dalam lamunanmu, hehe.”


“Apaan sih.”


“Ya kan kalau, Resh. Kalau misalnya aku pergi duluan…”


“Kita itu muncul ke dunia ini bareng, Rash. Jadi kalau mau ninggalin dunia juga harus bareng. Nggak boleh ada salah satu yang ditinggalin.”


“Kamu ngga akan pergi ninggalin aku?”


“Nggak akan.”


“Kalau aku yang pergi?”


“Aku juga pergi. ”


“Kalau belum saatnya kamu pergi?”


“Kamu yang harus kembali.”


Apa jadinya hidupku jika Rasha menghilang?


***


Tidak ada yang tahu kapan tepatnya aku mulai senang menyendiri. Orang tua dan teman-temanku juga mengatakan hal yang serupa. Mereka menganggap bahwa kini aku menjadi pemurung dan jarang berbicara dengan orang lain. Iyakah? Mungkin saja apa yang mereka katakan ada benarnya. Dunia memang jadi nggak asyik lagi tanpa kamu, Rash.


“Jangan seperti ini terus, Sayang. Makan, ya?” bujuk mama suatu malam.


“Aku nggak lapar.”


“Kondisi tubuhmu mengatakan hal sebaliknya.”


“Hm.”


“Rasha pasti sedih kalau melihat kamu seperti ini. Kamu tega bikin dia sedih? Makan ya, Sayang?”


Ujian Nasional sudah kulalui, Rash. Ujian sekolah pun akan selesai minggu depan. Sebentar lagi aku lulus. Harusnya kamu juga. Kenapa kamu malah pergi? Kamu tega bikin aku sedih, Rash? Kamu denger nggak? Suara tangis kehilangan yang kudengungkan tiap malam.


***


Pukul sepuluh lewat lima belas menit. Arrgghhh! Sudah lewat lima belas menit saja. Jangan-jangan Rasha udah duluan. Gara-gara perutku yang dari pagi mulas-mulas, aku pun terpaksa bolak-balik WC. Padahal seingatku, kemarin aku nggak makan yang aneh-aneh.


Kulangkahkan kaki dengan terburu-buru menuju kelas Rasha yang terletak di pojok kanan lantai dua. Lumayan jauh dari WC yang tadi kudatangi, letaknya di pojok kiri arah diagonal kelas Rasha. Ya, bentuk bangunan sekolah kami memang letter L. Seperti biasa, saat jam istirahat aku dan Rasha akan makan bareng di kantin. Kelas Rasha berjarak tiga ruangan dari kelasku. Rasha kelas XII IPA-A, kelasnya para siswa yang memiliki otak berlebih(an)? Aku sendiri kelas XII IPS-C, “kelas biasa” yang diisi “siswa biasa” dengan “kemampuan biasa”.


Tak berapa lama aku hampir sampai di depan pintu kelas Rasha yang terlihat ramai.


“Ada apaan nih rame-rame?” kutepuk pundak Echa, teman sekelas Rasha yang juga cukup akrab denganku. Dia berdiri tidak jauh dari pintu dan tampak terkejut setelah melihatku. 


“Resha! Untung lo dateng! Gue daritadi nyariin lo! Handphone lo kemana sih?”


“Mati. Kenapa sih? Panik amat?”


“Rasha, Resh. Rasha…”


“Hah? RASHA KENAPA?”


“Itu di dalem…”


Tanpa menunggu penjelasan dari Echa, aku segera menerobos masuk ke kelas Rasha. Tak peduli berapa tubuh yang kesakitan akibat kudorong kasar dan kupinggirkan dengan paksa. Terlihat seorang siswa perempuan berambut panjang yang berdiri membelakangiku sedang berbicara dengan nada membentak dan jarinya yang menunjuk-nunjuk ke wajah Rasha. Rasha terlihat pucat dan gemetar.


Brengsek! Langsung saja kutarik rambut perempuan itu.


“LO APAIN SAUDARA GUE, HAH?”


“Rasha, keluar. Bawa obat kamu. Kamu harus dapet udara seger. Echa! Ajak Rasha keluar!”


Echa segera menuntun Rasha meninggalkan kelas. Sementara tanganku masih menarik kencang rambut pengacau ini.
“Lepasin! Sakit, Bego!”


“LO YANG BEGO! LO APAIN SAUDARA GUE?”


“SAUDARA KEMBAR LO YANG LEMOT ITU UDAH MEREBUT PACAR GUE!”


“APA LO BILANG???” kemarahanku makin memuncak. Aku tak peduli lagi saat ini kami sedang berada di ruang kelas, aku tak peduli dilaporkan ke guru, aku tak peduli meski jika nanti harus dihukum gara-gara berkelahi. Perempuan pengacau ini sudah menghina Rashaku, ia juga sudah membuat asma Raisha kambuh. Sialan! Kuarahkan telapak tangan kananku ke pipi kirinya.


PLAK!


“INGET OMONGAN GUE, SEKALI LAGI LO GANGGU RASHA, MATI LO!”, ancamku sambil mencengkeram rahang dan kedua pipinya. Ia terlihat kesakitan. 


Kulepaskan cengkeramanku dan mendorong tubuhnya hingga mundur beberapa langkah. Segera kutinggalkan kelas itu dan mulai mencari Rasha. Apa dia baik-baik saja?


***


“Kamu beneran mau kuliah di IPB, Resh?” sekali lagi papa memastikan aku tidak sedang bergurau ketika mengatakan bahwa aku ikut SNMPTN dan menjadikan Institut Pertanian Bogor sebagai pilihan pertama.


“Kita nggak punya saudara atau kenalan disana,” sambung mama.


“Aku bisa ngekost.”


“Kenapa harus IPB? Disini juga ada universitas negeri kan? Setau Papa Brawijaya juga favorit kok.”


“Iya, Sayang.”


“Karena Bogor itu kota impiannya Rasha. Mama sama Papa tau kan Rasha suka banget sama hujan? Dia punya mimpi bisa tinggal di Bogor yang curah hujannya tinggi.”


“Lalu, apa hubungannya?”


“Kalau Rasha nggak sempat mewujudkan mimpinya itu dengan kemampuannya sendiri, maka Resha yang harus mewujudkannya.”


Mereka terdiam. Hening.


***


Selama ini aku percaya bahwa rasa cinta yang kuat sudah lebih dari cukup untuk bertahan hidup. Ternyata aku salah. Aku pikir cinta bisa mengalahkan segalanya, meski itu rasa sakit yang amat sekalipun. Tapi nyatanya aku salah lagi. Aku melihat sesuatu yang tak bisa dikalahkannya. Ya, takdir. Sebesar apapun cintaku pada Rasha, jika Tuhan sudah menakdirkan untuk memisahkan kami berdua dengan cara yang menyedihkan ini―dengan memanggil Rasha lebih dulu ke sisi-Nya―maka inilah yang terjadi. Aku sendirian, tenggelam dalam rasa kehilangan yang mendalam. Padahal, seharusnya Tuhan memanggil kami dalam waktu yang bersamaan, seperti saat dulu Ia memunculkan kami di dunia ini. Seharusnya begitu, mauku begitu. Tapi lagi-lagi aku harus berusaha menerima bahwa apa yang aku mau untuk kehidupanku, belum tentu sejalan dengan apa yang Tuhan mau. Dan apa yang Tuhan mau, pastilah yang terbaik untukku―dan Rasha. Aku mencoba memercayainya.


Aku tentu masih ingat peristiwa menyakitkan yang terjadi sembilan bulan lalu itu. Ketika pipi Rasha terlihat begitu tirus, wajahnya pucat, dan napasnya tersengal-sengal. Hatiku benar-benar teriris melihat kondisinya. Dokter bilang paru-paru Rasha sudah sangat lemah akibat infeksi yang menganga lebar. Rasha memang sudah divonis memiliki kelainan paru-paru sejak kami lahir, berbeda denganku yang sehat dan normal.


“Aku takut, Resh. Kata mama paru-paruku lemah, jadi harus ke dokter. Kamu ikut kan?”


“Iya, aku ikut kok. Tenang aja, Rash. Sampai selamanya aku akan terus nemenin dan jagain kamu.”


Aku duduk di samping ranjang Rasha. Tangan kanannya tertusuk jarum infus, hidungnya dimasuki selang yang terhubung ke nebulizer. Bantuan pernafasan, kata dokter. Rasha menatapku dan tersenyum tipis. Senyuman paling indah yang pernah kulihat. Ia berbicara pelan.


“Kalau aku harus pergi duluan, kamu gimana?”


“Aku juga pergi.”


“Kalau Tuhan bilang belum saatnya kamu pergi?”


“Kamu yang harus kembali.”


“Kalau nggak bisa?”


Tetes demi tetes air mengalir dari pelupuk mataku. Aku tidak kuat lagi berpura-pura tegar di hadapan Rasha. 


Rasha menggenggam tanganku lembut, “Kalau aku pergi duluan, jangan lupain aku ya?”


“Nggak akan pernah,” jawabku sambil terisak.


“Jangan hilangkan aku dari ingatan kamu.”


“Nggak akan bisa, Rash. Kamu itu bagian dari tubuh dan jiwaku. Di dalam tubuhku mengalir darahmu. Gimana mungkin kamu hilang?”


Rasha tersenyum lagi. “Rasha sayang mama dan papa. Rasya sayang banget sama Resha,” suaranya makin melemah.


Aku menundukkan kepalaku dan menyandarkannya di atas tangan Rasha yang sedang kugenggam. Menangis sejadi-jadinya.


Hari Minggu, 25 November 2008, tepat jam tujuh malam. Rasha pergi meninggalkanku, meninggalkan kami semua.


Ada yang ingin mengurung hujan dalam sebuah alinea panjang yang tak kacau. 
Meski kuyup, hujan malah sibuk menyuntingnya.
Ada yang ingin membebaskan hujan dengan telapak tangan yang jari-jarinya
bergerak gemas. 
Hujan pun tersirap : air mata.
(Saprdi Djoko Damono – Membebaskan Hujan)
***


Aku mencintaimu, dengan cinta yang tak tertangkap oleh indera. Aku mencintaimu, dengan cinta yang tak pernah menguap sedikitpun. Aku mencintaimu, dengan cinta yang mampu melintasi ruang dan waktu.


“Resh! Barusan aku browsing dan nemuin satu toko yang unik banget. Namanya Rumah Hujan. Tapi jauh, Resh. Di Bogor. Toko itu jual semua barang yang berhubungan sama hujan. Dari mulai aksesoris, payung, buku, lagu, foto, aaahhh semuanya deh!”


“Toko yang aneh.”


“Ishhh. Pokoknya suatu hari nanti aku mau kesana ah. Aku juga mau pindah ke Bogor deh. Disana kan curah hujannya tinggi, pasti hampir tiap hari hujan. Disebutnya aja kota hujan. Asyik banget!”


“Tinggal sama siapa ntar disana?”


“Sama kamu dong.”


“Kapan aku bilang mau?”


“Huuuu, Resha nyebelin! Yaudah aku sendiri juga nggak apa-apa.”


“Hahaha, ngambek. Lagi nulis apa, sih?”


“Mau tau aja.”


“Serius ah.”


“Iya, iya. Aku lagi nulis apa aja yang mau dibeli kalau kapan-kapan jadi ke toko Rumah Hujan.”


“Mau beli apa emangnya?”


“Novel Ketika Hujan karangannya Andini Nova, novel langka tuh, Resh. Mungkin aja ada di sana. Terus, album Kiss The Rain oleh Yiruma. Foto pas lagi hujan deras di Bogor, buat kenang-kenangan. Sama payung putih transparan, deh. Payungku yang biru kan udah rada rusak. Kalau payung putih transparan kayanya lebih enak, lebih terasa gitu hujannya.”


“Ada-ada aja. Dasar wanita hujan.”

TAMAT


Tentang Penulis:
*nama pena dari Novayuandini Gemilang, pernah aktif di beberapa organisasi pers di kampus UNJ dan saat ini menjadi reporter freelance dan blogger dari http://novayuandini-gemilang.blogspot.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buy now perfect duplicate branded automatic watches for the best price on Perfect Watches website., replica watchesWorldwide shipping available.

Top Zwitserse luxe 1: 1 Rolex replica horloges winkel voor heren, replica breitling koop goedkope nep Rolex horloges voor heren online.