![]() |
Source : sayogand.blogspot.com |
tentang Tragedi Nol Buku, sebuah posting yang lagi-lagi menampar wajah
pendidikan kita.
posting mengenai riset yang dilakukan Taufik Ismail tentang kewajiban
anak SMA membaca buku sastra berjudul Tragedi Nol Buku.
Kesimpulannya cukup mengejutkan, tidak ada kewajiban membaca buku sastra di SMA Indonesia. Berbeda jauh
dengan negara lain, bahkan dengan kewajiban di sekolah pada masa penjajahan
Belanda. Hasil lengkapnya dapat dilihat di tabel yang saya
ambil dari postingan Tragedi Nol
Buku.
Mengapa Terjadi Tragedi Nol Buku?
menteri, dirjen, kepala dinas, rektor sampai kepala sekolah mengabaikan
pentingnya membaca buku, terutama buku sastra. Membaca buku adalah hal biasa,
bukan kebijakan yang perlu jadi prioritas. Saya tunjukkan contoh sederhana yang
tampak mata.
kaki apa daripada berapa buku yang dibacanya. Sekolah-kampus kita lebih peduli
muridnya mengenakan pakaian apa daripada buku apa yang dibacanya. Murid pakai sandal
jepit dilarang masuk, tapi murid tidak membaca buku tidak dikenakan hukuman
apapun. Murid pakai kaos oblong dilarang ikut ujian, tapi murid tidak membaca
buku tetap bisa ikut ujian. Papan informasi di sekolah-kampus lebih besar
soal larangan pakai sandal/kaos, daripada seruan baca buku.
pengambil kebijakan. Lebih penting penampilan meski otak kosong melompong.
Lebih penting bersolek daripada membaca buku. Ini sekolah-kampus atau Fashion
Show?
logika pengambil kebijakan pendidikan kurang lebih seperti ini. Kewajiban
membaca buku adalah tanggung jawab dosen secara personal. Kewajiban mengenakan
pakaian-sepatu seragam adalah tanggung jawab manajemen. Jadi memang beda
prioritas. Pakaian urusan manajemen yang terpusat. Sementara, membaca buku
diserahkan ke dosen. Kebijakan pakaian berlaku secara menyeluruh beserta hadiah
dan hukumannya. Kebijakan membaca buku hanya berlaku di sebuah mata pelajaran
atau sebuah kelas.
pengambil kebijakan pendidikan kita yang kacau! Lalu apakah itu jadi perhatian dalam
kurikulum 2013? Tidak!
Bahasa Indonesia. Apa yang menjadi prioritas? Hafalan mengenai awalan, akhiran,
sisipan, majas dan tetek bengek lainnya. Apakah anak diajak untuk membaca buku?
Hanya tugas di salah satu pertemuan. Kalau dianalogikan dengan pelajaran
memasak, pelajaran berbahasa kita ibarat mengajari murid rumitnya memasak tanpa
diajak menikmati dan menghayati masakan yang super lezat. Siapa yang bisa gemar
membaca kalau dihadapkan dengan kerumitan tanpa merasakan lezatnya membaca?
sastra? Mengapa bukan buku teks? Bagi saya, buku sastra adalah karya sastrawan
dengan keseluruhan totalitasnya. Seorang sastrawan melakukan riset, penghayatan
dan menuliskan buku sastranya sebagai sebuah kesatuan kehidupan. Bagai masakan,
buku sastra adalah masakan yang dimasak secara sungguh-sungguh.
dibuat karena proyek. Buku yang dibuat agar anak bisa memahami berbagai teori
secara cepat. Penulis buku teks tidak melakukan proses penciptaan karya.
Perannya adalah memadukan berbagai jenis bahan secara cepat. Layaknya mie
instan, buku teks mengenyangkan sampai bosan, bukan menyehatkan pikiran. Buku
teks itu setara
dengan Wikipedia, tidak layak dikutip dalam laporan penelitian.
yang ditulis langsung oleh penyusun suatu teori. Bila ingin belajar piramida
kebutuhan, sangat beda antara membacanya di buku teks psikologi dengan
membacanya di buku karangan Abraham Maslow. Meski demikian, buku yang ditulis
ilmuwan biasanya bahasanya lebih berat.
hanya diajarkan kerumitan cara membaca dan berbahasa tanpa pernah menikmati
lezatnya membaca buku. Ketika tidak gemar, membaca buku hanya berdasarkan
kebutuhan sesaat seperti membaca buku karena mau ujian. Asupan pengetahuan
pada anak pun kurang secara jumlah dan kualitasnya. Semakin sedikit bacaan,
semakin sempit wawasannya, semakin dangkal pengambilan keputusannya.
ada pembelajaran berkelanjutan. Iya, membaca buku hanya ketika ada kewajiban di
sekolah-kampus. Setelah itu membaca jadi aktivitas yang dijauhi dan dilupakan.
Bahkan bisa jadi, membaca buku jadi aktivitas yang dibenci.
membaca buku sastra. Apa saja manfaatnya? Banyak! Saya mencatatnya ada empat manfaat dari gemar membaca
buku: memperkaya
kosa kata anak, membuat anak belajar
tentang keragaman, problem solving, dan wawasan berbagai tempat, memahami
pola perilaku orang dan cara berinteraksi, terakhir, melatih imajinasi dan kreativitas
anak
- Pilih presiden dan kepala
daerah yang memprioritaskan gemar membaca buku dalam kebijakan
pendidikannya - Desak pengambil kebijakan
pendidikan (menteri, rektor, & kepala sekolah) untuk menjadikan gemar membaca
buku sebagai prioritas pertama - Membangun
dan mendukung taman baca masyarakat atau gerakan sosial untuk gemar
membaca - Menjadi
orang tua yang mengajarkan anak untuk GEMAR (bukan mampu) membaca buku. Baca tipsnya di Gemar Membaca Buku Sejak Usia
Dini. - Sebarkan
informasi mengenai Tragedi Nol Buku dan Kegemaran Membaca Buku
Sumber : http://www.bincangedukasi.com/tragedi-nol-buku/
You may also like
-
How to Be a Great Public Speaker
-
Skill Penting yang Harus Dimiliki Oleh Mahasiswa untuk Mempersiapkan dan Menghadapi Persaingan Dunia Kerja
-
PRESIDENT JOKOWI DISTRIBUTES Rp800 BILLION FOR LAMPUNG INFRASTRUCTURE IMPROVEMENT
-
Bahaya dari Kecerdasan Buatan ChatGPT Terhadap Lingkungan yang Belum Siap
-
Membangun Hidup Sederhana dengan Minimalism Lifestyle: Tren Baru di Kalangan Generasi Z