UK Replica Watches Hot Sale,70% OFF & Free Shipping,replica watchesAvailable With Remarkable Rolex, Omega, Breitling, Hublot Fake Watches And Other.

Replika Órák - Olcsón Rolex replika órák Minősége Óra Webáruház Akciós

Wer verkauft die besten Replik-Rolex-Uhren? Alle Antworten finden Sie auf unserer Website replica uhrenwerden Sie auch ihre Vintage-Luxus-Replik von Rolex King Midas sehen.

EMW 1ST WINNER : BUKU DAN TEKNOLOGI

Menjinjing beberapa buku, di zaman
berteknologi ini (yang barangkali ke depannya), seperti tengah berdialog kepada
tiang listrik. Semakin kelamaan, orang-orang yang bersaksi melihat, akan
bernada seloroh: gila lu, ndro? Kemudian,
kita bakal dikutuk “kurang eksis”.
Kita bakal dikatakan kolot.
Aku ini. . . dari kumpulannya
terbuang. . . (Aku – Chairil Anwar)
Globalisasi, memang, menawarkan
kemudahan. Dengan bermodal mencerna “tablet” seharga sejutaan, masyarakat awam
maupun selebriti sekaliber Haji Sulam, sama-sama bisa peroleh pengetahuan yang
instan. Lewat internet, kita berpetualang ke negeri orang,
diajak berwisata kuliner,
dan jalan-jalan berburu hiburan. Pencarian informasi hanya
mengandalkan waktu yang serba hitungan detik, Semudah
itu.
Di samping, ia (internet)
menyerupai wujud serigala berbulu domba. Perannya yang praktis, jadi
menerjunkan buku sebagai anak bawang.
Efeknya secara tidak langsung berdampak pada itu. Contoh terdekat: ada
segelintir mahasiswa menulis Program Kreativitas Mahasiswa, demi motifnya
mengejar kemenangan yang berbuntut rupiah semata. Tentu, berdaftar pustaka oleh
situs-situs yang aduh, berlabel copy paste.
Menimbang alasan kecepatan: menginformasikan, internet lalu berposisi di pihak
yang menang.
Artinya, kehendak memiliki buku semakin
tersekat, ibarat labirin. Padahal, Sartre lebih dulu berhasrat. “Telah
kutemukan agamaku,” katanya, “tak ada yang lebih penting dari buku. Aku memandang
perpustakaan sebagai tempat ibadah.” Ia tipikal haus akan ilmu. Buku-buku yang
bertengger di rak perpustakaan milik kakeknya, Cherles Schweitzer, di lahapnya
tanpa kenal ampun. Di masa yang buat kita mengernyitkan dahi: kanak-kanak!
Rangkakan Sartre lamat-lamat
meliuk: menerobos pada penjelajahannya yang berbekal buku. Ke ruang khayalan
pengarang-pengarang: Fontenelle, Aristophanus, Rabelais, dst. Meski, ada yang
mengerikan, rasanya. Menghadapi buku tebal, tahu-tahu halaman berwarnanya
didapati penuh kerubut serangga-serangga yang memualkan. Akan tetapi baginya,
ruang untuk membaca buku laksana dunia yang terjerat dalam cermin. Tebalnya tak
terhingga, beraneka, juga tak terduga. Ah, seperti membayang meluncur ke kolam
renang. Melompatlah! Hoplla!
Mungkin, setiap kita yang sehabis
membaca Les Mots, beranjak dari
lamunannya: reflektif! Ternyata kata-kata bermantra. Memiliki daya
magisnya tersendiri, saya pun begitu
terperangah menyimak hidupnya yang berumah buku.
Sebetulnya, membaca buku –tafsir
lensa kacamata saya– memiliki keasyikan khusus. Dengan catatan,
terlepas dalam diktat perkuliahan –wabilkhusus
berbasis eksak. Pertama, menafaskan imajinasi yang tengah pingsan, terjerat
kejenuhan di ruang kelas. Kedua, meliarkan nafsu sex
agar kita berperut buncit. Bukan tikus (jelmaan koruptor) itu, tapi
mengandung janin karya.
Dan prosesi baca-tulis, ibarat di
keduanya, seperti “naluri binatang” seekor jantan dan betina;
“…Dan tak ada kegiatan membaca
tanpa menulis. Ia menjadi proses yang berlangsung siklik dan vertikal seperti
gelombang yang mengantar pesan ke udara. Ia berkelindan menjadikan seorang
manusia merasa bahwa ia ada dan berhak atas bumi ini. Berhak atas hidup dan
berhak atas Tuhannya.”
Radhar Panca Dahana menuturkan di
atas, “Dalam Sebotol Cokelat Cair”. Bagi budayawan kondang itu, membaca teks
lantas harus diteruskan kepada membaca konteks. Paling tidak di berita dalam
lingkaran surat kabar, apapun rubriknya. Tak peduli mereka itu berjenis hard news, feature, esai, sampai pada fiksi (seperti: puisi,
cerita pendek) sekalipun. Yang jelas, sebuah tulisan menghunus problematik,
yang menuntut jalan keluarnya dari para pembaca.
Itu kenapa, ada segelintiran
pedagang buku, loper koran, (kebanyakan) cerdas. Sebab, dia-dia suka iseng menalarkan
otaknya sendiri. Tapi, sekarang, mereka terancam punah. Gulung tikar.
Adakalanya, butuh dia-dia, atas alasan cemen:
dipaksa guru atau dosennya, disuruh membeli karena di sanalah sumber jawaban tugas
individualnya. Oh, buku!
Atau eksistensi sebuah
perpustakaan. Saya, suka gerutu diam-diam, bila kedapatan melirik ke forum yang
sengaja didirikan secara kecil-kecilan, di dalam perpustakaan itu. Ada sepasang
orang berpacaran, ada pemakai fasilitas wifi
yang sembarang untuk sekedar chat
ria, ada yang menumpang ngadem
(karena ber-AC) pula. Oh, buku!
Oh, buku!
Koran tempo (24/04/14) pernah
mencatat gelisah terhadap buku. Seorang esais solo, Bandung Mawardi, menulis di
kolom pendapat. Berkepala judul “Buku!” Ia seakan berdongeng, untuk
meninabobokan kita sebelum tubuh tergeletak menjamah kasur.
“…Adegan membaca mengartikan
kesadaran berubah ke arah “kemadjoean”. Buku menjadi modal pemodernan, mengajak
bocah-bocah mengimajinasikan dunia dengan huruf-huruf. Gairah aksara dan agenda
literasi memicu kemunculan ide-ide transformatif,” celotehnya.
Bandung mencemas. Sejarah Indonesia
berbicara, dulu, kemunculan buku-buku tak ngengeri
sekarang. Di kejayaannya, buku itu lunak: bermaksud hiburan, pengajaran agama,
moral, dan intelektualitas. Namun, penafsiran buku di era kini sudah bergeser
jadi kasap: menjadi buku pelajaran dan buku latihan soal ujian. Atas nama misi
“kecerdasan”. Klise!
Terlebih, para orang tua pada
akhirnya gamang membeli buku buat anaknya: sebab harganya yang selangit itu.
Ya, mesti dipikir ulang. “Ketimbang bayar
mahal
,” kata ibunya, “mending gue
beliin handphone pintar aja deh biar anak gue gak ketingggalan
.” mungkin,
ada yang berpikir demikian oleh si ibu-ibu.
Barangkali, terlalu naif juga
untuk mengangankan itu. Sing penting,
gelagat buku harus bisa dikembalikan kepada “alamatnya” semula. Mari, mulai
dari sekarang, biasakanlah kita untuk membaca, membeli, merawat buku. Bermula
dari kesusastraan: puisi, cerpen, novel. Isenglah baca: “mengambil jalan keluar
dari kepenatan, dalam kebebasan” kita. (Kacamata, 2014)
Alamak, kita sudah seharusnya
punya maksud baik: menyelamatkan buku-buku. Agar nanti, jangan sampai anak-cucu
kita menjelma gajah mati tak bergading. “Bunuh diri teknologi!”. Jadi,
beginilah kenyataan kebudayaan kita sekarang. Tengah berdiri menatap nanar ke
segala penjuru: di atas jembatan “teknologi”, yang di seberang berdaerah
“prestise”, yang di bawah berjurang “prestasi”.
Baiklah. Catatan ini dicukupkan
sampai di sini. Not Black Market Love,
kita harus mencintai buku, sebagaimana mendoakan penulisnya. Dan, ditutup
dengan puisi alit, gubahan saya pribadi:
KETIKA BUKU
Tuhan, kalau boleh bilang:
di sini kutemukan buku, tanpa ada
diri-Mu
yang kuingat ketika lembar-lembar
itu
berhalaman waktu
Ditulis:
Mei 2014
Oleh: Rahmat Mustakim. Mahasiswa
Pendidikan Ekonomi angkatan 2011 UNJ.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buy now perfect duplicate branded automatic watches for the best price on Perfect Watches website., replica watchesWorldwide shipping available.

Top Zwitserse luxe 1: 1 Rolex replica horloges winkel voor heren, replica breitling koop goedkope nep Rolex horloges voor heren online.