
Isu terjadinya ancaman resesi global tahun depan kian menguat diperbincangkan. Disebabkan inflasi yang kian menjulang tinggi, bank sentral di berbagai negara menaikkan suku bunga dengan agresif. Dua faktor tersebut menjadi ‘duo combo‘ yang membawa dunia ke resesi. Inflasi membuat daya beli masyarakat menurun, sedangkan suku bunga tinggi membuat ekspansi dunia usaha terhambat begitu juga dengan belanja rumah tangga. Resesi pun menjadi suatu kemungkinan. Lalu, bagaimana ketangguhan mata uang garuda?
Nilai rupiah pernah tercatat melemah hingga menyentuh level Rp16.400 per dolar AS pada Maret 2020 dipicu oleh gejolak pasar yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19. Seperti déjà vu, pada Rabu (19/10) pukul 15.07 WIB pelemahan rupiah kembali terjadi, nilai tukar rupiah kembali ambrol 0,24 persen hingga tembus Rp15.500 per dolar AS. Ironisnya, hal ini merupakan yang terdalam sejak 2,5 tahun terakhir.
Kini, melihat nilai rupiah yang kembali anjlok, apakah mata uang Indonesia ini akan menyentuh ke titik terendahnya? Mengingat ancaman resesi sudah nampak di depan mata sebagaimana ramalan International Monetary Fund (IMF) dan sejumlah lembaga internasional. IMF pun memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 3,2 persen tahun ini atau turun nyaris separuh dari capaian tahun lalu, yaitu sebesar 6,1 persen, sedangkan pada tahun depan, diperkirakan hanya 2,9 persen.
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P Sasmita, membenarkan jika pelemahan rupiah disebabkan ketidakpastian ekonomi global. Meskipun demikian, menurutnya, pelemahan rupiah ini bukan karena buruknya fundamental mata uang rupiah. Akan tetapi, karena tendensi bullish dolar AS yang semakin kuat.
“Jika tren bearish rupiah dan bullish dolar ini tak segera diantisipasi, saya kira tak menutup kemungkinan rupiah akan ke level Rp16.000 per dolar di akhir tahun atau awal tahun depan,” imbuh Ronny, Rabu (19/10). Bank Indonesia (BI) harus sangat hati-hati dalam memainkan instrumen suku bunga karena akan memperkecil likuiditas antar bank yang pada akhirnya akan menindas likuiditas untuk kredit investasi.

Menurut Ronny, BI sebaiknya fokus kepada nilai pasar ketimbang inflasi dalam mempertimbangkan apakah suku bunga naik atau tidak. Sebab, dalam situasi saat ini, yang dibutuhkan adalah perbaikan performa ekonomi, terutama peningkatan kesempatan kerja untuk menjaga aggregate demand.
“Artinya, BI menaikkan atau menurunkan suku bunga setelah data pertumbuhan ekonomi dirilis. Jika angkanya sesuai prediksi BI, 5,5 persen, maka sebaiknya suku bunga jangan naik dulu karena ekonomi masih butuh uang beredar dalam keadaan normal,” ujar Ronny.
Sementara itu, Kepala Ekonomi Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan penguatan dolar AS terjadi karena afeksi rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (the Fed) masih akan berlanjut pada November dan Desember mendatang. “Dan itu juga terindikasi dari imbal hasil surat utang AS, US treasury yang juga yield nya sudah naik di atas 4 persen, sehingga kenaikan yield itu juga mendorong penguatan dolar AS,” katanya.
Meski begitu, Josua mengatakan rupiah tidak akan melemah hingga menyentuh level Rp16.000 per dolar AS. Sebab, fundamental ekonomi RI masih cukup baik. Ia menilai kekuatan nilai tukar rupiah ke depan juga bergantung pada bagaimana BI menjaga stabilitas.
“Tapi secara fundamental, saya katakan mestinya rupiah tidak di level saat ini, dan di bawah Rp15.500, kurang lebih di Rp15.200 per dolar AS,” tegasnya. (RA/VAN)
You may also like
-
TUAI KONTROVERSI! BEGINI PENJELASAN TENTANG MARKETPLACE GURU
-
Sektor Bisnis Potensial di Masa Depan Menurut Erick Thohir
-
LIBURAN DENGAN MENGELUARKAN BIAYA HEMAT DAN TERJANGKAU DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN
-
Disrupsi Teknologi, Beberapa Jenis Pekerjaan Ini Terancam Punah
-
MENGHIDUPKAN KEMBALI GASTRONOMI WARISAN: MAKANAN TRADISIONAL INDONESIA YANG KINI TERLUPAKAN