Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the temporary-login-without-password domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/u702772576/domains/econochannelfeunj.com/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
Lain Dunia - Econo Channel

Lain Dunia

LAIN DUNIA
Oleh : Novayuandini Gemilang*
Ada sesuatu yang lebih  daripada fasilitas dan kompetensi untuk bisa
berprestasi.  Katalisator  ini adalah sikap. Jika sikap kita benar, kemampuan
kita mencapai  keefektivan maksimal dan
hasil yang baik akan mengikuti (Prof. Erwin H. 
Schell)
“Hufffttt…”
  Nurani menghela napas panjang. Tak
pernah ia merasa selelah ini. Biasanya, remaja wanita itu hanya mengantarkan
koran ke tiga komplek perumahan. Tapi hari ini Aray sakit. Mau tidak mau ia
harus menggantikan tugas sahabatnya itu. Tambahan  lima komplek perumahan dan ia hanya memiliki
waktu dua setengah jam untuk 
mengantarkan semua koran.
Matahari
sudah merambat naik saat semua koran berhasil diantar Nurani kepada para pelanggan.
“Akhirnya
selesai juga,” cetus Nurani sambil melirik jam tangan pemberian almarhum
ayahnya saat ia berusia delapan tahun.
“Waaaa,
udah jam tujuh kurang, mesti buru-buru nih biar nggak terlambat ke  sekolah. Berangkaaaaaaaaaaaaat!” teriak remaja
berkuncir dua itu sambil mulai mengayuh sepeda butut merah yang catnya sudah
banyak mengelupas.
***
“Ma,
aku hari ini nggak masuk sekolah, ya. Kepalaku pusing banget.”  Pagi ituAstrid mencoba merayu ibunya agar
mengijinkannya bolos sekolah.
“Ya
sudah. Makanya kamu jangan kebanyakan main. Mama perhatiin kamu sering banget
ke mall akhir-akhir ini,” jawab sang ibu.
“Hehehe,
besok-besok nggak lagi kok, Ma.” Astrid tersenyum lebar sebelum kembali
meringkuk di balik selimut hangatnya. Tidur.
***
“Nur,
tolong sampaikan ke ibumu agar segera melunasi tunggakan bukumu.”
Ibu
Saidah yang memanggil Nurani ke ruang guru. Wali kelasnya itu memang sudah
seringkali mengingatkannya. Tapi, Nurani 
dan ibunya memang belum mempunyai uang untuk membayar. Mau
bagaimana  lagi? Untuk makan sehari-hari
saja sulit. Beruntung Nurani mendapat beasiswa karena prestasinya di sekolah
sehingga bebannya sedikit berkurang karena tidak harus membayar SPP.
Nurani
adalah sulung di keluarganya. Adiknya hanya seorang, perempuan juga.  Ayahnya sudah meninggal  tiga tahun lalu setelah menderita stroke hampir  enam bulan lamanya. Ibunya seorang kuli cuci.
Ya, kuli cuci. Semua orang tahu berapa penghasilan yang didapat seorang kuli
cuci.
“Baik,
Bu. Saya usahakan melunasinya akhir bulan ini. Insya Allah,” ucapnya setengah
yakin.
Nurani
keluar dari ruangan guru dengan langkah gontai.
***
“Eh,
besok pulang sekolah kita ke mall, yuk. Udah lama nih nggak makan pizza. Gue
lagi pengen banget.” Kata Astrid di sela-sela obrolannya dengan seorang teman
melalui handphone Blackberry Gemini-nya.
“Boleh
tuh, sekalian belanja!” jawab suara di seberang. Pemilik suara itu adalah Rana.
Sahabat sekaligus teman sebangku Astrid di kelas sepuluh SMA Internasional
Tunas Muda.
“Sip,
atur aja. See you tomorrow, Ran!”
Sambungan
telepon pun dimatikan. Klik!
***
Ucapan
Bu Saidah kemarin terus terngiang di telinga Nurani. Seakan tidak membiarkannya  lupa barang sedetik pun. Membuatnya makin
gelisah. Darimana ia bisa  mendapatkan
uang untuk membayar tunggakan bukunya itu? Dua ratus empat puluh ribu rupiah.
Hal lain yang membuat ia makin panik adalah bahwa ia hanya punya waktu dua
minggu untuk melunasinya.
Nurani
memutar otak. Sesekali bola matanya 
terlihat bergerak ke atas dan ke bawah. Apa yang harus kulakukan, Ya Allah? tanyanya dalam hati.
Setelah
beberapa waktu berpikir keras, akhirnya Nurani mendapatkan sebuah
pencerahan.  Gadis itu mengangguk pasti
menandakan betapa optimisnya ia. “Bismillah!” ujarnya seraya bangkit
dari bangku kayu berwarna cokelat yang terletak di teras rumahnya.
“Ibu,
Nur keluar dulu sebentar, ya. Assalamu’alaikum.” Nurani melangkahkan kaki
menuju suatu tempat  yang ia percayai
bisa memberikan jalan keluar atas kebuntuannya.
Nurani
mengeluarkan sepedanya. Aku harus
semangat, batinnya sambil mulai mengayuh.
Dari awal Nurani sudah bertekad
bahwa kemiskinannya tidak boleh menghalanginya untuk sekolah dan berprestasi. Justru
kemiskinan itulah yang menyadarkannya bahwa ia harus lebih giat dari mereka
yang berkelebihan. Jika mereka bangun jam lima pagi, Nurani akan bangun lebih
pagi. Jika mereka belajar selama dua jam, Nurani akan belajar empat jam.
***
“Gue
mau tas itu. Sumpah, keren abis! Merek Channel, Ran!” jerit Astrid  histeris saat ia berada di sebuah mall dan
melintasi factory outlet tas.
“Pokoknya
gue harus beli tas itu!”lanjutnya berapi-api.
“Minta
beliin aja sama mama lo. Pasti dibeliin, kan? Lo kan anak tunggal. Anak
kesayangan.” Rana mencoba memberi saran.
“Iya,
gampang. Nanti balik dari sini, gue langsung bilang. Rayu dulu dikit,
hahaha.”
Malamnya…
“Ma,
tadi Astrid ke mall, terus liat tas baguuuus banget. Beliin ya, Ma. Mama baik
deh.”
“Kamu
ini, kan udah janji nggak main ke mall dan belanja sering-sering.” Ibunya
mencoba menasehati. Tangan wanita itu tampak sibuk memindahkan makanan yang
baru matang dari dapur ke meja makan.
“Yah,
Mama kok gitu. Ma, beliin dong, katanya mama sayang sama aku. Astrid udah dua
bulan lebih nggak beli tas. Masa iya pakai tas yang sama terus?” Astrid  terus melancarkan rayuan, berharap sang mama
mengabulkan permintaannya.
Dan, seperti yang sudah-sudah. Karena
tidak ingin membuat putrinya kecewa, sang ibu pun akhirnya berkata, “Ya
sudah, nanti mama kasih uangnya. Tapi janji ya belajarnya harus rajin!”
Bukan
kali ini saja rayuan Astrid berhasil. Kalimat 
andalan seperti  “Katanya
Mama sayang sama aku, atau katanya aku anak kesayangan Papa” telah  dan selalu berhasil membuat hati kedua orang
tuanya luluh. Mau tak mau menuruti semua 
permintaan anak semata wayangnya itu. Walaupun mereka tahu bahwa  tindakannya itu akan membuat sang anak
menjadi semakin manja.
Tahu bukan berarti harus melakukan,
kan?
***
Hari ini siapapun tahu. Si Miskin
tambah miskin, si Kaya makin bergelimang harta. Tapi nyatanya uang tak selalu mampu
berbicara.
“Yang
temannya Aray, ya?” tanya Mang Jajang. Lelaki berusia empat puluh tahun
lebih itu sedang duduk di dipan bambu di pinggir jalan samping tempat pencucian
motornya.
“Iya,
Mang. Nama saya Nurani, biasa dipanggil Nur.” jawab Nurani sambil
tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang putih dan tersusun rapi. Nurani
tampak begitu manis dengan kaos oblong tangan panjang berwarna merah, celana
bahan bermotif batik, juga sebuah topi bertuliskan salah satu brand surat kabar terkemuka yang ia
dapat dari agen.
“Kamu
yakin bisa? Seingat Mamang, Aray pernah cerita bahwa pagi kamu  harus mengantar koran lalu sekolah sampai
siang hari, terus  mengantar cucian ke
pelanggan ibumu. Kalau kamu mau bekerja disini juga, terus kapan kamu
belajarnya?”
“Saya
biasa belajar pas malam sebelum tidur, Mang. Sesudah shalat subuh  saya belajar lagi, baru mengantarkan koran.
Saya bisa mengatur waktu kok, Mang. Saya benar-benar butuh  pekerjaan ini.” Nurani berharap Mang
Jajang bersedia memberikan pekerjaan itu padanya.
Setelah
mempertimbangkan, akhirnya Mang Jajang memperbolehkan Nurani menjadi salah satu
karyawan di tempat steam motor
miliknya yang  cukup besar dan terkenal
di daerah Sumur Bor.
“Ya
sudah, boleh. Tapi janji ya, sekolah jangan sampai terbengkalai.”
“Alhamdulillah,
iya Mang. Makasih ya Mang, makasih.”
“Iya
sama-sama. Mulai besok kamu udah bisa kerja, masuk jam tiga sore pulang jam
delapan malam. Saya kasih kamu upah sehari dua puluh ribu. Kerja yang rajin.
Sekolah juga yang rajin, Biar nanti bisa jadi orang sukses yang bermanfaat!”
papar Mang  Jajang.
“Insya
Allah, Mang. Sekali lagi makasih. Saya akan berusaha. Saya pamit, Mang.
Assalamu’alaikum,” sambil melangkah, diam-diam Nurani menghitung. Dua
ratus empat puuluh ribu dibagi dua puluh ribu sama dengan dua belas. Berarti  ia bisa membayar tunggakan bukunya dalam
waktu dua belas hari. Ia  mulai berjalan
pulang sambil menyunggingkan senyum kelegaan.
“Wa’alaikumsalam.”
Mang Jajang menatap Nurani yang telah berlalu semakin jauh. Dalam hati ia memuji
gadis kurus tomboy itu. Anak yang luar
biasa.
***
Siapa
yang tak kenal Astrid? Di SMA Internasional Tunas Muda, namanya begitu  tersohor. Bukan karena prestasinya dalam
bidang akademik maupun nonakademik, melainkan karena orang tuanya adalah
penyumbang dana  terbesar di sekolah
tersebut. Ditambah kebiasaannya yang sering memamerkan barang-barang bermerek
yang ia miliki, seperti  tas, sepatu, dan
lain-lain kepada  teman-temannya. Belum
lagi kisah cintanya dengan beberapa murid laki-laki.
Padahal,
kedua orang tua Astrid berharap banyak pada gadis berusia enam belas tahun itu.
Semua kebutuhan Astrid dipenuhi dengan baik―sangat
baik malah
. Fasilitas mobil lengkap dengan supir yang siap mengantar
dan  menjemput kapan pun, internet dua
puluh empat jam di komputer kamarnya yang 
disediakan dengan tujuan untuk memudahkan Astrid mengerjakan tugas  sekolah, dan uang saku yang berlebih.
Sayangnya, semua  itu ternyata tidak
mampu membuat Astrid memberikan timbal 
balik yang membanggakan orangnya.
Memang benar, ada yang lebih
penting dari fasilitas.
***
“Ibu
udah makan?” Aresha meletakkan sebuah kantong plastik hitam di meja makan
dekat dapur. Ia baru saja pulang dari tempat Mang Jajang.
“Sudah.
Kamu? tumben malam banget pulangnya, lagi ramai di tempat cuci motornya, Nur?”
tanya ibu sembari menggosok baju seragam kedua putrinya dengan setrikaan
listrik berwana abu-abu yang beberapa bagian dari bungkus kabelnya sudah
terlepas.
“Udah
kok tadi. Iya, tadi rame banget, Bu. Tapi Alhamdulillah, Nur jadi  dapet upah tambahan. Oia, Nur bawa jeruk, tadi
pas pulang mampir ke toko buahnya Mbah Sri. Ibu makan, ya. Nur  mau shalat isya dulu.”
“Iya,
selesai gosok Ibu kupasin. Tinggal lima baju lagi.”
Tidak
lama semua pakaian telah rapi.  Ibu
mengambil kantong berisi jeruk dan dua buah dikupasnya, lalu diletakkan di
sebuah piring plastik kecil berwarna hijau. Sambil  menunggu Nurani selesai shalat, ia duduk dan
merenung. Melihat anaknya  pulang dengan
wajah yang kelihatan lelah, membuat ia merasa bersalah.  Anaknya yang satu itu memang tidak pernah mengeluh,
tapi ia tahu bahwa Nurani pasti merasa tertekan menanggung semua beban yang
sebenarnya bukanlah tanggung jawabnya. Nurani yang masih remaja harus bekerja
keras untuk  membantunya menafkahi
keluarga ini. Upahnya sebagai kuli cuci memang 
jauh dari cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka bertiga. Ingin  rasanya ia mencari pekerjaan tambahan, namun
umurnya yang sudah jauh dari muda  dan
tubuhnya yang lemah, membuatnya mengurungkan niatnya tersebut. Lagipula, Nurani
pun melarangnya bekerja di luar.
“Kok
bengong, Bu?” Suara Nurani mengagetkan ibunya yang tengah asyik merenung.
“Kamu
ngagetin ibu aja, Nur.” Ibu mengambil kulit jeruk dan berjalan menuju
dapur untuk membuang kulit tersebut ke tong sampah. “Dimakan jeruknya, Nur. ” Ujar
ibu setengah teriak dari dapur.
“Lagian
Ibu ngapain malem-malem gini bengong. Awas ada yang nyambit loh, Bu. Eh
nyambet, hehehe.” Nurani tertawa geli sehabis menggoda ibunya.
“Hush,
kamu ini jangan ngeledek ibu terus. Makan jeruknya yang banyak biar sehat!”
Nurani
nyengir saja. “Oia, Sarah udah tidur, Bu?”
“Iya,
tadi dia abis ngerjain PR dan shalat isya langsung tidur.”
“Ogh
ghidu. Yaudah yug maan jerugnya, Bhu,” ucap Nurani sambil mengunyah. Kata
yang ia ucapkan menjadi aneh karena mulutnya dipenuhi jeruk.
“Iya.
Ya sudah kamu juga jangan ngomong sambil makan jadi aneh gitu kata-katamu, Nur.
Kaya makhluk-makhluk di luar angkasa sana.”
“Ibu
kaya pernah ketemu makhluk luar angkasa aja.”
Mereka
tertawa. Dan malam pun semakin larut.
Kaya
semakin kaya, miskin semakin papa
Kalian dapat berlindung di balik ocehan nasib dan samsara
Kami akan berdiri di sini, tak sendiri, hingga nafas penghabisan
Serupa kesabaran terakhir para buruh di palang pintu pabrik
Serupa panen terakhir para petani penggarap
Serupa tengat miskin kota di ujung penggusuran
Serupa harapan mereka yang tak bisa lagi berharap
Serupa pilihan terakhir keluarga korban kekerasan negara
Serupa rahim setiap ibu yang melahirkan para kombatan yang menantang setiap
tiran di titik nadir perhitungan
Kami
akan bangun kembali godam dari reruntuhan dan berangkal harapan
Keyakinan yang menyaingi semua manual langitan
Esok akan terlalu terlambat, hari ini atau tidak sama sekali!
Meski kalian coba bunuh kami berkali, kami akan lahir berkali bergenerasi!
(Homicide – Tantang Tirani)
*Pemimpin Umum EconoChannel 2012-2013
*Cerpen ini juga dimuat di Majalah EconoChannel Edisi 12 tahun 2012



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

free da pa checker
newsspencer.com
deneme bonusu veren siteler
deneme bonusu veren siteler
jojobet
grandpashabet 2198
maltcasino
casibom güncel giriş
imajbet giriş