Kira-kira siapa, nih dari kalian yang merasa terhanyut dalam hustle culture?
Beberapa waktu belakangan, fenomena ini menjadi tren yang diadaptasi di berbagai belahan dunia, terutama di angkatan muda, seperti milenial atau Gen Z. Sesuai namanya, budaya ini hadir untuk mengimbangi perkembangan dunia yang serba cepat dan mengutamakan kerja di atas segalanya.
Yapsss, hustle culture memosisikan pekerjaan sebagai pusat kehidupan. Kalian yang memiliki jam kerja yang panjang, seperti from nine to five lalu lanjut lembur atau punya beberapa kerja sampingan, biasanya akan dipuji oleh orang-orang di sekitar kalian, bukan?
Sementara itu, waktu beristirahat dipandang sebagai kemalasan. Memilih untuk tidak bekerja atau mengurangi pekerjaan dianggap tidak realistis. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak dapat mengikuti ritme cepat? Ya, mereka secara otomatis dianggap gagal.
Di kalangan perempuan, ukuran sukses dalam kerja keras biasanya ditunjukkan apabila kamu berhasil memiliki semuanya. Perempuan yang berhasil mencapai taraf itu bahkan punya sebutan tersendiri, yaitu Girl Boss.
Memang di satu sisi, hustle culture dapat mendorongmu agar lebih produktif dan mencapai tujuan sesuai target. Ada juga orang yang meraih kesuksesan dalam wujud jabatan lebih tinggi atau kestabilan finansial. Meski begitu, ibarat dua sisi koin, budaya hiruk-pikuk juga punya sisi kelam yang harus dibayar dengan harga mahal.
Tak bisa dimungkiri, hustle culture hampir selalu membuat lelah karena tekanan yang datang terus-menerus untuk bekerja keras dan dituntut untuk mencapai banyak hal, yang tentu tidak akan ada habisnya jika dikejar semua.
Dampaknya? Apalagi jika bukan risiko pada kesehatan mental dan fisikmu. Misalnya, kamu jadi abai terhadap diri sendiri dan relasi personal demi pekerjaan. Bukan tidak mungkin juga kamu sampai mengalami gangguan kecemasan dan stres karena berbagai tekanan.
Keengganan terjebak dalam pengejaran tanpa henti ini nantinya akan melahirkan sebuah tren baru di kalangan generasi muda, yaitu soft life.
Tren tersebut semakin populer ketika media sosial seperti TikTok ikut menyebarkannya melalui tagar #softlife atau #softlifeera.
Kebalikan dengan hustle culture, soft life alias hidup lebih lembut adalah soal bagaimana kamu bisa menjauhi stres dan menjalani kehidupan yang lebih mudah, termasuk merayakan hal-hal dalam hidup yang mendatangkan kegembiraan.
Beberapa unggahan di TikTok mendeskripsikan soft life sebagai aktivitas menikmati tempo hidup pelan alias tidak terburu-buru.
Contohnya mungkin terdengar sepele, seperti aktivitas menyiapkan sarapan yang cenderung sering terlewatkan apabila jadwalmu sibuk, mencoba hobi-hobi baru, atau menikmati sore di tepi pantai bersama teman.
Di balik itu semua, kehidupan soft life bukan hanya seperti yang digambarkan warganet. Sesungguhnya, realitas soft life jauh lebih dalam dari gambaran tersebut.
“Soft life adalah menjalani hidup sesuai keinginanmu. Termasuk menciptakan karier atau bisnis yang kamu inginkan, merawat diri secara holistik, yang semuanya dimulai dengan adanya mindset soal itu dan mengetahui bahwa kamu layak menjalani kehidupan yang lebih lembut,” terang Chlöe Pierre, pendiri platform thy.self dan penulis buku Take Care: The Black Women’s Guide To Wellness (2023) sebagaimana dikutip dari The independent.
Terlepas dari itu semua, dalam konteks profesional, menjalani kehidupan yang lembut bukan berarti tidak memiliki pekerjaan, melainkan menempatkan pekerjaan bukan sebagai pusat kehidupanmu.
Soft life juga bukan gerakan antipekerjaan, melainkan gaya hidup yang bertujuan untuk menetapkan batasan yang kamu perlukan sehingga kamu dapat menikmati lebih banyak kegembiraan dalam hidup.
“Pada dasarnya soft life tentang menciptakan gaya hidup dengan stres minimal dan menetapkan batasan, itu adalah kuncinya. Menerima hal-hal yang bermanfaat bagimu dan melepaskan atau menghilangkan hal-hal yang tidak bermanfaat,” kata Okpanachi.
Apabila dikaitkan dengan pekerjaan, menjalani soft life bisa diartikan sebagai keputusan untuk berhenti dari pekerjaan yang toxic atau memilih pekerjaan yang benar-benar kamu sukai.
Tren ini pada akhirnya juga berpengaruh pada bagaimana cara generasi muda bekerja, seperti memilih pekerjaan yang tidak menimbulkan stres, jarak jauh, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, dan tentunya memprioritaskan kesehatan.
Pilihan untuk menjalani gaya hidup tertentu, tentunya kembali pada keputusanmu sendiri.
(KMU/NBL)