Transjakarta telah menjadi moda transportasi andalan masyarakat Jakarta sejak diluncurkan pada tahun 2004. Dengan 13 koridor yang menghubungkan berbagai wilayah strategis, Transjakarta menyediakan aksesibilitas luas dengan tarif terjangkau. Namun, wacana penghapusan Koridor 1 (Blok M–Kota) dan Koridor 2 (Harmoni–Pulo Gadung) kini menjadi sorotan, memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan pengamat transportasi. Keputusan ini disebut-sebut bertujuan meningkatkan efisiensi, tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah langkah ini merupakan solusi transportasi atau justru menciptakan masalah baru?
Keputusan penghapusan Koridor 1 dan 2 diumumkan oleh pengelola Transjakarta sebagai respons terhadap tumpang tindih rute dengan moda transportasi lain, seperti MRT dan LRT. Menurut Anang Rizkani Noor, Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan Transjakarta, kebijakan ini bertujuan mengoptimalkan rute dan mengurangi duplikasi layanan. Dengan demikian, sumber daya operasional dapat dialihkan ke koridor atau wilayah yang lebih membutuhkan. Meskipun demikian, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengguna setia yang mengandalkan kedua koridor tersebut untuk aktivitas harian.
Penghapusan ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari Transjakarta sebagai pelaksana kebijakan, hingga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menjadi pengambil kebijakan transportasi publik. Masyarakat pengguna, terutama pekerja dan pelajar, adalah pihak yang withering terdampak. Selain itu, pengamat transportasi turut memberikan pandangan kritis terkait dampak keputusan ini terhadap mobilitas masyarakat Jakarta.
Sumber: transjakarta.co.id
Koridor 1 dan 2 adalah dua jalur strategis yang menjadi tulang punggung transportasi Jakarta. Koridor 1 menghubungkan Blok M dengan Kota, melintasi kawasan bisnis, perkantoran, dan wisata populer seperti Kota Tua. Sementara itu, Koridor 2 menghubungkan Harmoni ke Pulo Gadung, melayani daerah pemukiman padat yang bergantung pada transportasi umum untuk menuju pusat kota. Kedua koridor ini menjadi pilihan utama masyarakat karena aksesibilitasnya yang luas dan biaya yang terjangkau dibandingkan moda transportasi lain.
Wacana penghapusan ini mencuat pada akhir tahun 2024, meskipun belum ada jadwal implementasi resmi. Menurut Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, kebijakan ini diambil untuk mendukung efisiensi transportasi perkotaan dan memaksimalkan peran moda baru seperti MRT dan LRT. “Dengan pengalihan ini, kami berharap pengguna dapat beralih ke transportasi yang lebih cepat dan terintegrasi,” ujarnya. Namun, sebagian masyarakat menganggap kebijakan ini tidak mempertimbangkan kebutuhan mereka yang bergantung pada Transjakarta untuk perjalanan ekonomis dan efisien.
Dampak penghapusan ini cukup signifikan, terutama bagi pengguna setia kedua koridor. Mereka harus mencari alternatif transportasi, seperti MRT, LRT, atau kendaraan pribadi. Namun, tidak semua masyarakat memiliki akses yang mudah ke MRT atau LRT, baik karena keterbatasan jaringan maupun biaya yang lebih tinggi. Selain itu, pengamat transportasi, Darmaningtyas memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat memicu lonjakan penggunaan kendaraan pribadi, yang justru memperburuk kemacetan di Jakarta. “Karakteristik pengguna Transjakarta berbeda dengan MRT, baik dari segi tarif maupun aksesibilitas. Menghapus jalur ini tanpa solusi yang matang akan menciptakan masalah baru,” katanya.
Sebagai solusi alternatif, beberapa langkah dapat dipertimbangkan sebelum kebijakan ini diterapkan. Pertama, mengintegrasikan tarif dan sistem antara Transjakarta, MRT, dan LRT sehingga masyarakat tidak terbebani biaya tambahan saat beralih moda. Kedua, memodifikasi rute Koridor 1 dan 2 untuk melengkapi moda lain, bukan menghapus sepenuhnya. Ketiga, memastikan kapasitas MRT dan LRT mencukupi untuk menampung lonjakan penumpang jika penghapusan koridor ini benar-benar diterapkan.
Kesimpulannya, penghapusan Koridor 1 dan 2 Transjakarta adalah kebijakan yang memerlukan kajian mendalam. Sementara efisiensi menjadi tujuan utama, dampak terhadap masyarakat harus menjadi prioritas. Tanpa langkah mitigasi yang jelas, kebijakan ini berisiko memperburuk kondisi transportasi Jakarta, alih-alih memperbaikinya. Dengan pendekatan yang lebih komprehensif, efisiensi dan kenyamanan masyarakat dapat berjalan beriringan. (SMC/ASM)
You may also like
-
Update Harga BBM Awal Tahun 2025: Pertamax Naik Per 1 Januari, Berikut Daftar Lengkapnya
-
Rumah Jadi Tempat Party Tahun Baru? Why Not!
-
5 REKOMENDASI DESTINASI LIBURAN NATAL DAN TAHUN BARU 2025 YANG WAJIB KAMU KUNJUNGI!
-
SQUID GAME 2 IS BACK: READY TO ACCOMPANY THE YEAR-END HOLIDAYS
-
Cuaca Ekstrem? Don’t Panic! Antisipasi dengan Tips Berikut!