Selama beberapa tahun terakhir, cancel culture telah menjadi gagasan yang kerap kali diperdebatkan dalam wacana politik. Ada banyak perdebatan tentang apa artinya, termasuk apakah itu cara untuk meminta pertanggungjawaban terhadap seseorang, taktik untuk menghukum orang lain secara tidak adil, atau campuran antara keduanya. Bahkan, beberapa berpendapat menyebut bahwa cancel culture itu tidak ada. Cancel culture berasal dari banyak bentuk wacana publik online dan offline di ruang publik.
Pengertian cancel culture adalah bentuk boikot di mana seseorang, biasanya seorang seleb, telah berbagi pendapat yang meragukan atau memiliki perilaku bermasalah yang disebut di media sosial. Orang itu kemudian “di-cancel” yang pada dasarnya berarti mereka diboikot oleh banyak orang, terkadang menyebabkan penurunan besar-besaran dalam basis penggemar dan karier dari orang. Ini biasanya dimulai ketika seseorang mengatakan atau mengungkapkan pendapat yang rasis/seksis/homofobik/transfobik/xenofobik atau yang dianggap bermasalah oleh warga internet.
Untuk lebih memahami bagaimana pandangan publik tentang konsep cancel culture, Pew Research Center meminta orang Amerika pada September 2020 untuk berbagi pandangan dengan kata-kata mereka sendiri tentang cancel culture. Hasilnya, survei tersebut menemukan bahwa pandangan masyarakat sangat terpecah, termasuk mengenai arti dari frasa tersebut. Tanggapan yang paling umum sejauh ini berpusat di sekitar akuntabilitas. Sekitar 49% dari mereka yang akrab dengan istilah itu mengatakan dengan menggambarkan cancel culture sebagai tindakan yang dilakukan orang untuk meminta pertanggungjawaban orang lain. Sebagian kecil yang menyebutkan akuntabilitas dalam definisi, mereka juga membahas bagaimana tindakan ini salah tempat, tidak efektif atau sangat kejam. Sekitar 14% orang dewasa yang telah mendengar setidaknya cukup banyak tentang cancel culture, mereka menggambarkannya sebagai bentuk penyensoran, seperti pembatasan kebebasan berbicara atau penghapusan sejarah. Ini juga serupa dengan 12% lainnya yang mencirikan cancel culture sebagai serangan kejam yang digunakan untuk menyakiti orang lain. Banyak juga yang mengemukakan bahwa mentalitas massa dari cancel culture dapat menjadi racun dan seperti yang telah terjadi, kampanye media sosial massa terhadap seseorang ini sebenarnya dapat menghalangi mereka untuk tumbuh dan belajar dari kesalahan mereka.
Pada akhirnya, cancel culture telah menjadi bagian dari kehidupan bermedia sosial kita dan tampaknya memang belum akan menghilang. Pertanyaan apakah cancel culture perlu dipertahankan atau tidak, semuanya harus melihat kasus per kasus yang ada dan tidak bisa disamaratakan. Saat ini, cancel culture menjadi hal yang bersifat pribadi dan kembali ke diri kita masing-masing. Kita lah yang menentukan apakah seseorang pantas di-cancel atau tidak, setidaknya untuk standar moral diri kita sendiri dan nilai-nilai personal yang kita anut. Namun, rasanya semua orang akan sepakat jika bijak dalam menggunakan media sosial adalah kunci utama sebelum kita meng-cancel atau di-cancel orang lain. Dengan mengedukasi, menegur, dan mengingatkan terlebih dahulu sebelum menyerukan cancel ke seseorang. Alih-alih “mem-bully dan memboikot” mereka, kita harus mendidik mereka dan membuka ruang percakapan yang sehat.
(SRH/KAN)
You may also like
-
Langkah Sederhana untuk Lingkungan Tanpa Polusi
-
WORLD CUP DREAMS ALIVE? Indonesia Jumps 5 Spots in FIFA Rankings!
-
Memaksimalkan Potensi Black Friday untuk UMKM: Strategi Jitu Meningkatkan Penjualan
-
Recharge Sebelum Tahun Baru: 5 Manfaat Self-Care yang Wajib Kamu Tahu
-
Mengelola Keuangan Pribadi di Era Digital: Tips Memanfaatkan Platform Keuangan Digital