Kecaman Metode Achievement Grouping dan Solusi Pengimplementasiannya

Oleh : Ai Miftah

           Tahukah kamu tentang achievement grouping? Dalam manajemen
penempatan kelas, terdapat yang namanya achievement grouping. Kamu
sebagai calon guru (cagur) masa depan harus tahu tentang ini. Metode ini banyak digunakan dalam penempatan
kelas pada beberapa sekolah. Tapi pada praktiknya, metode achievement
grouping
 mendapatkan banyak kritik
dari para ahli, orang tua, bahkan masyarakat. Pasalnya, metode ini menyebabkan
diskriminasi siswa secara tidak langsung dan menerbitkan rasa sombong dalam
diri beberapa peserta didik. 
Achievement grouping merupakan
metode penempatan kelas dengan mempertimbangkan prestasi yang dimiliki oleh
peserta didik. Di sini, siswa pandai akan ditempatkan bersama siswa pandai
lainnya. Sebaliknya, siswa yang kurang pandai ditempatkan dalam kelas bersama
siswa yang kurang pandai pula. Jadi, terdapat hierarki level secara vertikal
dalam penempatan kelas tersebut.
Saat ini asumsi publik memuat bahwa metode achievement grouping hanyalah
suatu rancangan pembelajaran semata. Dimana rancangan pembelajaran tersebut
tidak sesuai dengan implementasi pembelajaran yang sebenarnya. Betapa tidak,
metode ini menimbulkan rasa superioritas pada diri siswa yang tergolong dalam
kelas “level tinggi”. Akibatnya, para siswa merasa sombong karena prestasinya
dan mulai mendeskriditkan siswa dari kelas lain yang levelnya lebih rendah.
Selain itu, timbul sikap pilih-memilih dalam berteman sehingga perselisihan
antara siswa level tinggi dan level rendah mulai terpicu.
Siswa kelas level rendah juga akan merasa tersisih dan kurang
percaya diri, serta kecewa. Ditambah lagi dengan adanya rumor dan cap bahwa ia
“bodoh”, akan menambah rasa tertekan dan frustasi. Dan pada akhirnya, tekanan
psikologis tersebut akan menurunkan semangat belajar para siswa. Karena alasan
itulah, kritikan-kritikan terhadap implementasi metode achievement grouping bermunculan.
Tapi di sisi lain, metode achievement grouping memiliki
banyak kelebihan. Sebelumnya, metode ini
dipilih dan dirasa cocok sebagai metode penempatan kelas karena
didasarkan kepada teori “anak sebagai individu”. Maksudnya, setiap anak wajib
dipenuhi kebutuhannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Seorang anak tidak
boleh diperlakukan sama dengan anak yang lain, karena bagaimanapun kebutuhan
mereka berbeda. Tingkat kebutuhan yang berbeda inilah yang mendorong untuk
memberikan pelayanan yang berbeda pula. Dengan demikian, kebutuhan anak dapat
dipenuhi dengan baik, termasuk dalam pembelajaran.
Di samping itu, guru merasa kesulitan dalam mendidik siswa dengan
variasi tingkat kecerdasan berbeda dalam satu kelas yang sama. Dengan kemampuan
daya tangkap yang berbeda, membuat suatu hambatan kemajuan belajar siswa yang
lebih mudah pemahamannya. Selain itu, siswa yang daya pemahamannya rendah akan
sulit mengikuti pelajaran dan bisa jadi tertinggal di belakang. Oleh karena
itu, metode  achievement grouping hadir
untuk mengatasi kendala-kendala pembelajaran tersebut.
Terlepas dari pro-kontra metode achievement grouping,
seorang guru harus bisa menguasai kelas dengan baik –bagaimanapun keadaannya-. Seorang
guru tidak bisa menentang kebijakan metode penempatan kelas yang telah
diterapkan di sekolahnya. Dan apabila secara kebetulan –atau direncanakan-
metode ini digunakan dalam kebijakan sekolah, maka perlu siasat untuk menghindari masalah yang bisa timbul. Karena pada dasarnya,
metode achievement grouping merupakan metode yang sangat efektif untuk
meningkatkan hasil belajar siswa. Jadi, tidak ada salahnya menerapkan metode
ini di sekolah.
Apabila metode achievement grouping diterapkan, maka ada
beberapa siasat yang bisa dipraktikan untuk mengefektifkan implementasi metode
ini.
  1. Tanamkan
    nilai moral sebagai aspek afektif dalam diri siswa dalam kegiatan belajar
    mengajar. Dengan aspek afektif ini, akan membantu siswa
    berpikir dan bersikap dewasa dalam menghadapi lingkungan sosialnya. Jadi, hal
    ini dapat menekan rasa sombong dan sikap superioritas siswa “level tinggi”
    serta mengurangi diskriminasi pada siswa “level rendah”. Selain itu, pada
    kurikulum 2013 saat ini aspek afektif lebih diutamakan daripada aspek kognitif.
    Oleh karenanya, penanaman moral di sekolah bukanlah hal yang sulit dilakukan.
  2. Pemberdayaan
    tenaga pendidik secara efisien dan efektif. Disini harus dilakukan disposisi
    tenaga pendidik sesuai kebutuhan siswa. Pada siswa “level rendah” harus
    diberikan tenaga pendidik yang lebih profesional. Para tenaga pendidik
    diharapkan bisa mengajar secara ekstra dan memiliki metode pembelajaran yang
    baik untuk membimbing siswanya. Sehingga, para siswa tertarik dan merasa senang
    serta bersemangat dalam belajar.
  3. Diadakan
    Student Brotherhood and Gathering bagi semua siswa. Kegiatan ini dilakukan dengan
    mengumpulkan siswa yang pandai dengan siswa yang biasa. Tujuannya adalah
    mempererat hubungan dan sosialisasi antarsiswa. Dengan terjalinnya hubungan
    yang baik antarsiswa, maka diskriminasi dan rasa superioritas akan perlahan
    memudar. 

Terinspirasi
dari: diskusi kecil dalam mata kuliah profesi kependidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

news
da pa checker
1xCasino
jojobet giriş
vozol