UK Replica Watches Hot Sale,70% OFF & Free Shipping,replica watchesAvailable With Remarkable Rolex, Omega, Breitling, Hublot Fake Watches And Other.

Replika Órák - Olcsón Rolex replika órák Minősége Óra Webáruház Akciós

Wer verkauft die besten Replik-Rolex-Uhren? Alle Antworten finden Sie auf unserer Website replica uhrenwerden Sie auch ihre Vintage-Luxus-Replik von Rolex King Midas sehen.

TINI BUAH HASIL KARTINI

Oleh Dian Lestari
Sore
hari yang mulai gelap, aku melihat orang-orang duduk di dalam sebuah ruangan
untuk mengevaluasi hasil kerja program OSIS terakhir, yaitu Latihan Dasar
Kepemimpinan Siswa (LDKS). Terlihat di meja bagian depan  beberapa petinggi sekolah, seperti Ibu Rika
sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Bapak Minto sebagai Pembina
OSIS, Ibu Peti dan Bapak Seno selaku Panitia LDKS. Di seberang dari tempat
duduk mereka, terlihat jelas wajah cemas dari para pengurus OSIS. Sebelum
mereka sempat memikirkan hal negatif yang akan terjadi, Bapak Minto segera
mengawali evaluasi ini dengan salam.
            “Selamat sore anak-anak.” Ucap Pak
Minto.
            “ Selamat sore Pak.” Jawab anak-anak
serempak.
            “Akhirnya kita selesai melaksanakan
program terakhir kita. Bapak mengucapkan terima kasih kepada kalian yang telah
berkontribusi pada seluruh program kerja kita dari awal hingg akhir. Tanpa
bantuan kalian, pihak sekolah tidak mungkin bisa mengendalikannya sendiri. Mari
kita beri applause
untuk
kerja keras kita.” Perintah Pak Minto.
            “ Yeaayyyyyy prok prok prok prok
prok (anak-anak sambil tepuk tangan dan tertawa kecil dengan teman di
sebelahnya).” Sambut mereka serentak.
            “Syukur lah, mungkin ini nggak seburuk yang kita
bayangkan.” Bisik seorang perempuan yang ternyata ketua OSIS kepada temannya.
            “Baik, Bapak lanjutkan kembali. Tapi
kita tidak boleh berbangga hati terlebih dahulu. Setiap apa yang kita lakukan,
harus ada pertanggungjawabannya baik sesama manusia maupun dengan Tuhan. Orang
yang besar adalah mereka yang bersedia menerima segala kritik dan saran dari
orang-orang di sekitarnya. Oleh sebab itu, mari kita dengarkan sambutan dari
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan. Kepada Ibu Rika, saya persilahkan.” Ucap
Pak Minto.
            Anak-anak pun mulai tarik nafas perlahan-lahan
sambil memperbaiki tempat duduknya. Mereka berharap banyak pujian yang
dikatakan Bu Rika.
            “Selamat sore anak-anakku.” Ucap Bu
Rika.
            “Selamat sore, Bu.” Jawab anak-anak
serentak.
            “Yang saya hormati Bapak Minto
selaku Pembina Osis, Bapak Seno dan Ibu Peti selaku panitia guru dan
anak-anakku yang Ibu banggakan. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya kita masih dalam keadaan sehat
hingga akhir acara ini. Anak-anakku, kalian diberi kepercayaan sebagai pengurus
OSIS adalah untuk menjalankan amanah yang kami titipkan kepada kalian. Kita
sebagai manusia harus bisa memanusiakan orang lain juga. Jangan sampai
perkataan dan perbuatan kita menyinggung orang lain. Tidak semua orang bisa
menerima bercandaan kita sayang. Kalian mengerti kan maksud Ibu?” Tanya Bu
Rika.
            Anak-anak hanya saling menoleh ke
sebelah kanan dan kiri temannya sambil memberi isyarat apakah ada yang mengerti
maksud perkataan Bu Rika. Serentak mata mereka tertuju kepada ketua OSIS mereka.
Mereka yakin hanya ketua OSISnya
lah yang bisa mencerna dan memahami makna setiap untaian kata dari Bu Rika. Tapi
sayang, dia duduk di kursi depan sehingga tidak tahu kalau temannya menaruh
harapan besar kepadanya.
            “Baik jika tidak ada yang mau bicara.
Ibu tidak suka kalian memperlakukan adik kelas kalian tidak sewajarnya. Ini
latihan kepemimpinan bukan belajar jadi preman. Kenapa ibu masih mendengar ada laporan bahwa
kalian menyuruh mereka makan cepat, ada yang makanannya diberi kecap,
dibentak-bentak ketika makan, sampai ada yang muntah-muntah. Kalian ini
pemimpin, bukan seperti itu cara kalian membentuk adik-adik kalian jadi
pemimpin. Tinggalkan tradisi kakak kelas kalian yang tidak baik. Tidak semua
orang bisa dipaksa makan cepat. Kondisi perut kita berbeda. Kalau ada yang
sakit, siapa yang mau bertanggungjawab?” Ujar Bu Rika.
            Ternyata perkataan Bu Rika tidak
membuat semua anak bisa menerimanya. Ada beberapa dari mereka yang
menyangkalnya dengan alasan tertentu. Shena pun akhirnya berdiri dan menyampaikan
pendapatnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Sang ketua OSIS pun yang duduk
di sebelahnya tidak bisa mencegahnya. Dia yakin ini akan menjadi perdebatan yang mengundang banyak
air mata.
            “Maaf bu, bukannya kami tidak bisa
memperlakukan mereka sebagaimana mestinya. (dengan suara yang terbata-bata dan
air mata yang mulai jatuh ke pipi). Tapi kenapa sih Ibu belain mereka terus?
Waktu tahun lalu kami LDKS, kami disuruh ini disuruh itu, kami tidak pernah
dibela (suara isak tangis makin jelas terdengar). Apa yang kami lakukan kepada
mereka tidak sebanding dengan apa yang dulu kami dapatkan dari kakak-kakak
kelas. Ibu bilang nggak boleh main fisik kami ikutin, ibu bilang nggak boleh
ada kekerasan kami turuti. Tapi kenapa kami yang tidak memperlakukakan mereka
dengan kekerasan terus disalahkan? Sedangkan dulu kami nggak pernah dibela
seperti ini padahal apa yang kami terima jauh lebih parah. Saya nggak terima,
Bu. Ini nggak adil buat kami.” Ujar Shena.
            “ Bukan gitu, Nak……..” Bu Rika
berusaha menjawab tetapi langsung dipotong pembicaraannya.
            “Iya, Bu. Kami merasa tidak adil.
Kami tidak pernah dibela. Dulu waktu LDKS, kami harus push up, banding, sit
up
,
pasak bumi dan sejenisnya. Bukan hanya itu, bahkan sampai LDKS selesai, saat
jam istirahat, kami harus berlari-lari ke lantai empat untuk membayar utang
kami dengan memenuhi keinginan mereka. Ada yang mempermalukan kami dengan
nyuruh kami nyanyi sambil joget bahkan ada yang menghukum kami dengan kekerasan
fisik seperti push up dan banding. Apabila kami telat datang ke
lantai empat, maka utang kami akan bertambah. Tapi apa pernah kami mengeluh?
Apa kami dibela? Kami diabaikan, Bu.” Bentak Nugi.
            Aku melihat sang ketua OSIS membuka
bibirnya dengan tangis yang terisak-isak. “Cukup Gi….. cukup…..” ucapnya pelan. Dia tidak
menyangka situasi separah ini. Ditambah lagi teman-teman yang lain sangat
antusias dan mendukung perkataan Shena dan Nugi. Dari awal terpilihnya dia
sebagai ketua OSIS, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menghapus
tradisi-tradisi yang sudah mengakar di sekolahnya itu. Contohnya adalah tradisi
pembayaran hutang
setelah LDKS.
Namun,
dia masih berharap hukuman fisik seperti push
up
masih ada untuk memberi efek jera atas pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan selama LDKS berlangsung. Hukuman ini tidak berlaku setelah selesainya
masa LDKS. Walaupun teman-teman seanggotanya ada yang pro dan kontra terhadap
keputusannya ini, namun mereka menghormati kebijakan pemimpinnya. Akan tetapi, Bu Rika melarang hukuman
dalam bentuk fisik apa pun, dan dia terpaksa mengikutinya.
“Anak-anakku,
sumpah demi Tuhan, Ibu tidak bermaksud berlaku tidak adil sama kalian. Ibu
tidak tahu kalau kalian mengalami hal separah itu (ucapannya mulai
terbata-bata, perkataan anak-anak mulai menyentuh hati nurani keibuannya, air
mata pun membasahi pipinya). Ibu tidak mau kalian menjadi orang yang pendendam.
Jangan tularkan apa yang kalian rasakan ke adik-adik kalian. Kalian yang harus
putuskan rantai-rantai itu, Nak. Ibu minta maaf yang sebesar-besarnya. Semua
yang terjadi di luar dari kendali Ibu sebagai manusia biasa. Ibu benar-benar
minta maaf.” Ucap
Bu Rika.
Akan
tetapi, sepertinya masih ada beberapa anak yang masih juga belum bisa
menerimanya. Padahal Ibu Rika tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Beliau baru
menjadi Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan tahun ini. Jadi wajar, jika pada
tahun lalu beliau tidak membela anak-anak karena tidak ada kekuasaan.
“Tini,
ada yang mau kamu sampaikan?” Tanya Pak Minto kepada ketua OSIS.
“Tidak,
Pak. Sudah cukup.” Jawabnya.
“Tini,
kamu harus bicara.” Kata Bu Rika.
(sambil
mengusap air matanya). “Perbedaan usia kadang membuat kita sering berbeda
pendapat. Saya minta maaf karena tidak bisa meyakinkan teman-teman saya bahwa
apa yang diinginkan sekolah adalah demi kebaikan bersama. Akan tetapi, saya
juga minta maaf karena tidak bisa meyakinkan pihak sekolah, bahwa aspirasi dari
teman-teman juga sebaiknya perlu didengarkan terlebih dahulu alasannya. Saya
berharap apa yang terjadi hari ini, tidak merusak kebersamaan kita sebagai
keluarga besar SMA Negeri Bunga Bangsa. Itu saja, Pak, Bu. Terima kasih atas
kesempatan dan waktunya.” Jelas Tini.
“Baik,
hari ini kita sama-sama sudah mengeluarkan keluh kesah kita selama ini. Bapak
dengan segenap guru-guru minta maaf apabila ada yang kurang berkenan di hati
kalian. Begitu juga sebaliknya, kesalahan kalian sudah kami maafkan. Masalah
ini cukup ada di ruangan ini. Setelah kita keluar dari ruangan ini. Semua akan
baik-baik saja. Kalian juga fokus untuk hasil kelulusan kalian nanti. Selamat
Sore.” Kata Pak Minto.
Aku
melihat satu persatu mereka keluar dari ruangan. Terlihat dari wajah Tini bahwa
dia merasa gagal di akhir kepengurusannya. Meskipun program-program sebelumnya sering
mendapat pujian atas keberhasilannya. Akan tetapi, kali ini hatinya seperti
merasa dipojokkan dan diserang dengan pukulan yang super dahsyat. Jiwanya
sangat tertekan membuat seseorang yang dia sayangi menangis yaitu Ibu Rika.
Ujian
Nasional (UN) dan Ujian Sekolah (US) sudah berlalu. Anak-anak kelas 3 sangat
mengharapkan adanya wisuda untuk pelepasan sekolah. Akan tetapi, semenjak
adanya kebijakan sekolah gratis, pihak sekolah tidak berani memungut uang
sekecil apapun. Pihak sekolah sudah tidak bersedia mengelola keuangan untuk
kegiatan apapun yang bersumber dari uang orangtua murid.
Aku
melihat Tini mengangkat ponselnya yang berbunyi.

Hallo, Selamat siang, Bu.” Jawabnya.
Ternyata
Ibu Rika yang sedang menghubunginya.

APAAAAAAAA??????? Tapi, Bu……….” Jelas Tini
Tini
terlihat sangat menyimak suara dibalik teleponnya itu.

Saya rasa, saya perlu bertemu dengan Kepala Sekolah, Bu. Terima kasih atas
informasinya, Bu.” Katanya.
Selama
ini Tini sudah mengkoordinir teman-temannya dalam mengumpulkan uang untuk
keperluan wisuda. Sebagian uangnya juga sudah dibelanjakan untuk membeli medali
saat pelepasan nanti. Namun, keputusan rapat Kepala Sekolah dengan guru-guru
bahwa pihak sekolah hanya menyetujui adanya upacara kecil-kecilan di lapangan
sekolah.
Ibu
Rika adalah satu-satunya orang yang mengetahui bahwa Tini sudah bekerja keras
untuk kegiatan wisuda. Namun, suara Ibu Rika untuk tetap ada kegiatan wisuda
terkalahkan karena kebanyakan dari guru-guru tidak menyetujui adanya acara ini.
Hasil keputusan rapat sudah tidak bisa diubah. Namun, dia tetap keras kepala
ingin menemui Kepala Sekolah.
Keesokan
harinya, aku melihat Tini bersama temannya Pras mendatangi ruangan Kepala
Sekolah. Kehadirannya disambut baik oleh Ibu Asih, Kepala Sekolah barunya itu.

Ada apa Tini?” Tanya Bu Asih.

Begini Bu, saya tahu bahwa pihak sekolah sudah menghasilkan sebuah keputusan
mengenai acara wisuda. Namun, jika Ibu berkenan mendengarkan aspirasi kami,
saya ingin acara wisuda tetap diadakan Bu. Teman-teman sudah menabung kepada
saya untuk kegiatan ini. Saya juga sudah membelanjakan sebagian uang mereka
untuk membeli medali. Maafkan saya Bu jika saya mengambil keputusan tanpa
berkomunikasi dengan Ibu terlebih dahulu sebelumnya. Akan tetapi, saya sangat
berharap Ibu bisa mengubah keputusan itu dan tidak mengecewakan aspirasi dari
teman-teman yang lainnya.” Jelasnya.

Iya Tini, Ibu sangat mengerti keinginan kalian. Ibu justru senang melihat
antusias dan ide kalian. Begini saja, besok kita adakan rapat kedua. Ibu akan
mengundang seluruh Wakil Kepala Sekolah, Staff, dan Wali Kelas kalian di kelas
3 sekaligus Ketua Komite. Kalian siapkan seluruh perwakilan kelas 3 di tiap
kelas untuk mengikuti rapat ini. Keputusan ada wisuda atau tidak tergantung
hasil musyawarah pada rapat nanti.” Pinta Ibu Asih.

Baik saya laksanakan, Bu.” Jawabnya.
Dengan
perwakilan kelas yang sudah lengkap, Tini dan kawan-kawan mendatangi ruangan
Kepala Sekolah untuk rapat. Anggota rapat pun sudah lengkap dihadiri Kepala
Sekolah beserta Wakil dan Staffnya, Ketua Komite, dan guru-guru. Bapak Minto
membuka rapat dengan sedikit sambutan. Tini pun diperkenankan untuk
menyampaikan maksud dan tujuannya.

Selamat Siang. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu guru yang
sudah bersedia meluangkan waktunya untuk rapat ini. Saya sudah mengetahui hasil
rapat sebelumnya bahwa tidak akan diadakannya kegiatan wisuda. Namun, saya dan
teman-teman sudah menabung selama ini untuk tetap diadakannya kegiatan wisuda.
Kami sudah berhasil mengumpulkan uang 20 juta dan sebagian sudah dibelanjakan
untuk medali. Saya sangat berharap, Bapak dan Ibu tidak mengecewakan usaha dan
kerja keras kami karena…………….”
Belum
selesai Tini melanjutkan pembicaraannya, Ibu Yati selaku Ketua Komite
memotongnya.

Sebentar, kamu sudah mengumpulkan uang sampai sebesar itu tanpa pantauan
orangtua? Ini namanya kamu sudah bersikap ilegal sayang. Bukannya begitu
Bapak/Ibu guru? Kenapa kamu tidak berkomunikasi terlebih dahulu kok main
bertindak sendiri?” Tanya Bu Yati.

Bukan ilegal, Bu. Mereka kan sudah bilang bahwa mereka menabung. Namanya juga
anak-anak. Yaa ibaratkan saja mereka ingin membeli mainan kesukaan mereka,
supaya bisa memperolehnya makanya mereka menabung. Jadi menurut saya ini nggak
bisa dibilang ilegal kok. Mereka juga pasti sudah berkomunikasi dengan guru,
tapi bukan berkomunikasi soal uang.” Bela Pak Surya sebagai Wakil Kepala
Sekolah Bidang Akademik.

Tapi nggak bisa seperti itu dong Pak, Bu. Kalian ini punya orangtua loh sayang.
Siapa orangtua kalian? Yaaa Ibu, sebagai Ketua Komite. Komite itu orangtua
kalian. Kalau kalian ada apa-apa ya kalian tinggal bilang ke Komite. Jangan
liar seperti ini. Kalau Dinas tahu ada pungutan uang, pihak sekolah nggak
berani tampil kalau bukan komite yang mengklarifikasi.” Ujar Bu Yati.

Bukan liar, Bu. Mereka hanya berantusias. Lagipula tidak akan jadi masalah kok
di Dinas asalkan bukan pihak sekolah yang memungutnya. Ini semua kan keinginan
mereka. Kita jangan mematahkan semangat mereka.” Jelas Pak Minto.

Maaf Bu, saya siap bertanggungjawab jika ada pihak Dinas yang menanyakan
masalah ini ke sekolah. Lagi pula
saya tidak memaksakan anak-anak untuk membayarnya apalagi
yang kurang mampu, karena
saya menggunakan sistim subsidi silang. Untuk masalah gedung yang biayanya
sangat mahal pun saya
akan menyewa dari gedung universitas yang mau memberi subsidi bagi kegiatan
ini.” Jelas Tini.

Jadi bagaimana Bapak dan Ibu guru? Apakah setuju jika akan diadakan acara
wisuda?” Tanya Ibu Asih.

Saya setuju saja karena anak-anak sudah berantusias. Kita perlu mengapresiasi
kerja keras mereka, Bu. Masalah ke Dinas juga bukan permasalahan yang besar
untuk kegiatan ini sepertinya.” Ujar Pak Karyo mewakili Wali Kelas yang lain.

Tapi saya perlu mengadakan rapat dengan orangtua murid untuk menginformasikan
kegiatan ini sekaligus mencari dukungan dana.” Ujar Ibu Yati.
Kegiatan
ini sudah mendapat persetujuan dari pihak sekolah. Setiap harinya Tini berkomunikasi
dengan pihak sekolah mengenai kebutuhan untuk kegiatan wisuda nanti. Pesan Pak
Minto kepadanya adalah bahwa dia dilarang memberitahu mengenai keuangan yang
diperolehnya kepada Bu Yati. Ketika dia menanyakan alasannya kepada Pak Minto,
beliau hanya menjawab nanti juga kamu mengerti.
Acara
wisuda pun semakin dekat. Tetapi Tini masih belum menerima uang yang diperoleh
dari hasil rapat komite dengan orangtua murid. Padahal dia hadir saat rapat
itu. Namun, kini pikirannya terfokus untuk pengisian acara saat kegiatan itu
berlangsung. Hingga akhirnya waktu itu pun tiba.
Aku
mendengar seorang master of ceremony memanggil
Tini sebagai perwakilan kelas 3 untuk memberi sambutan. Dengan kebaya panjang
berwarna pink, dia naik ke podium dan
menyampaikan kata-kata emasnya. Semua hadirin menganggukkan kepala mendengar
tiap untaian kata yang disampaikan. Di akhir kalimatnya, dia mampu membuat
semua hadirin tepuk tangan dan tersenyum bangga kepadanya.
            Di penghujung acara, aku kembali
mendengar namanya dipanggil ketika pengumuman siswa berprestasi. Kebaya pink panjangnya yang dilengkapi dengan
pernak-pernik berkilau di seluruh bagian tubuh kebaya membuat dia tampak
bersinar di panggung. Dia dinobatkan sebagai siswa berprestasi bidang akademik
dengan nilai Ujian Nasional (UN) dan Ujian Akhir Sekolah (UAS) tertinggi di
jurusan IPS sekolahnya. Selain itu, dia pun mendapat penghargaan sebagai siswa
berprestasi bidang organisasi karena keberhasilannya menjadi ketua OSIS selama
satu periode.
            Dia mendapat ucapan selamat dari
kepala sekolah dan guru-gurunya. Bahkan ada dari mereka yang mencium pipinya.
Terlihat sekali kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Matanya mulai
berkaca-kaca ketika bapaknya dipersilahkan naik ke atas panggung. Saat itu, bapaknya
menjadi saksi atas keberhasilannya di bangku SMA, walaupun ibunya tidak bisa
hadir karena undangan hanya diperbolehkan untuk satu orangtua.
Di
akhir masa putih abu-abunya itu, dia menerima dua piala sekaligus dengan dua
kategori yang berbeda. Jauh dari lubuk hatinya, 
bahwa apa yang telah dicapainya hingga hari ini adalah bukan semata-mata
atas potensi yang dimilikinya. Akan tetapi, berkat doa kedua orangtuanya dan
bimbingan yang luar biasa dari guru-gurunya. Di setiap doanya selalu
dipanjatkan agar apa yang telah diperolehnya, tidak menjadikan dia orang yang
sombong melainkan menjadikannya orang yang rendah hati.
Bukan
hanya itu, dengan keberaniannya dia mendatangi rumah Komite untuk meminta hak
atas uang sumbangan wisuda yang belum diterimanya. Meskipun acara wisuda sudah
berakhir, namun dia merasa pantas menerima uang yang seharusnya bukan jadi
milik pribadi Ketua Komitenya. Kini, dia mengerti maksud Pak Minto. Bu Yati
tidak bisa dipercaya mengenai uang.
Dengan
data jumlah nominal dari setiap penyumbang, Tini memberanikan diri menagihnya
kepada Bu Yati. Uang itu pun berhasil diterimanya. Dia memanfaatkan uang sisa
itu untuk menyumbang ke masjid yang sedang dibangun sekolahnya dan membeli
semabako untuk anak yatim piatu di Panti Asuhan. Hatinya sangat senang karena
semua tugasnya terselesaikan secara baik. Berkat usaha dan rasa
bertanggungjawabnya pada keseluruhan kegiatannya selama ini, Tuhan pun
memberinya hadiah dengan diterimanya dia di salah satu Peguruan Tinggi Negeri.
Ternyata
cerita guru Sekolah Dasar (SD) nya waktu itu tentang R.A Kartini
mengantarkannya menjadi seorang pemimpin muda. Gurunya selalu bercerita bahwa
R.A Kartini adalah pelopor adanya emansipasi wanita. Ide-ide cemerlangnya
ditulis dalam tulisan yang dibuat menjadi sebuah buku “Habis Gelap Terbitlah
Terang”. Surat-suratnya itu banyak menginspirasi perempuan-perempuan Indonesia.
Semenjak
itulah dia bercita-cita ingin menjadi seperti R.A Kartini. Dia ingin
membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi seorang pemimpin yang berprestasi.
Tuhan telah mewujudkannya dengan menjadikannya Ketua OSIS di SMA. Gelar juara
umum pun selalu diraihnya. Walaupun perbuatannya belum menginspirasi perempuan
di seluruh Indonesia. Namun, keberaniannya sudah cukup membuat orang-orang di
sekitarnya bangga. Dia mampu mengubah keputusan yang sudah ditetapkan
sebelumnya. Dia berhasil meminta hak atas uang milik orang lain yang hampir
dinikmati sendiri oleh Komitenya. Dia bukan hanya aktif sebagai seorang
organisatoris, tetapi juga cerdas dalam akademik. Kartini memang sudah tiada,
namun buah hasil dari pemikiran dan kerja kerasnya telah melahirkan generasi-generasi
hebat.

Tin…. Tin….. Transjakartanya sudah sampai halte harmoni. Tin….. Tin….. (sambil
menggoyangkan tangannya ke muka Tini).” Ujar Awa mengagetkan.

Ya ampun, aku melamunkan kisah hidupku setahun yang lalu.” Jawabnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Buy now perfect duplicate branded automatic watches for the best price on Perfect Watches website., replica watchesWorldwide shipping available.

Top Zwitserse luxe 1: 1 Rolex replica horloges winkel voor heren, replica breitling koop goedkope nep Rolex horloges voor heren online.