Kadal 142 : Rollercoaster Wacana Rp1000 Menjadi Rp1

Rakyat sejahtera dan kestabilan ekonomi menjadi cita – cita semua negara. Kedua hal tersebut menjadi sebagian tolak ukur untuk bertahan dan menjadi negara yang dihormati. Contohnya Amerika Serikat, negara adikuasa yang menjadi sosok pengendali negara lainnya. Hal tersebut dibuktikan oleh nilai mata uang dolar AS yang selalu sanggup membuat negara lain ‘putar otak’ agar nilai tukar mata uangnya tidak anjlok terhadapnya.
Indonesia telah mengalami fase pasang surutnya nilai rupiah sejak mata uang Indonesia ditetapkan pada 30 Oktober 1946 hingga 2019 saat ini. Tercatat pada awal Juli 2019, nilai rupiah menguat 0,11% yaitu menjadi sebesar Rp 14.105 per dolar AS. Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral yang salah satu tugasnya mengurusi kebijakan moneter negara, menilai kenaikan rupiah saat ini tidak berpengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia. Hal inilah yang membuat wacana redenominasi rupiah tercipta.
Redenominasi adalah penyederhanaan dan penyetaraan nilai rupiah. Walaupun definisinya mengandung arti penyederhanaan, tetapi redenominasi bukan berarti memotong nilai mata uang yang akan berdampak pada pemotongan daya beli masyarakat (sanering). Seringkali masyarakat keliru tentang dua istilah ini. Dalam redenominasi, nilai barang dan uang akan disederhanakan angka nolnya sehingga akan berubah nominalnya saja. Penyederhanaan nominal ini biasanya dilakukan jika suatu negara dinilai mengalami keadaan ekonomi yang stabil dan menuju kearah yang sehat. Sebagai ilustrasi, uang nominal Rp10.000 saat ini bisa dipakai untuk membeli empat bungkus mi instan. Ketika redenominasi yang membuat tiga angka nol hilang, uang nominal Rp10 dapat tetap bisa dipakai untuk membeli empat bungkus mi instan.
Wacana redenominasi bukan muncul baru – baru ini saja. Faktanya, sejak Deputi Gubernur Senior BI masih dijabat oleh Darmin Nasution hingga tahun 2013 berganti menjadi Agus Martowardojo, hal tersebut belum bisa direalisasikan. BI yang kini dipimpin oleh Perry Warjiyo juga bertekad untuk menyelesaikan misi yang belum dicapai oleh rekan – rekannya terdahulu tersebut. BI menilai dengan dilakukannya redenominasi rupiah, negara Indonesia akan memiliki nilai mata uang yang efisien dalam pencatatan akuntansi, serta  rupiah akan semakin berdaulat dan lebih bergengsi jika dibandingkan dengan mata uang negara lain.
Alur realisasi redenominasi sangat panjang. Mulai dari pembahasan RUU redenominasi, perjalanan masuk program legislasi nasional (prolegnas) sampai masa transisi hingga masa penerapan. Berbeda dengan BI yang optimis melakukan redenominasi dalam waktu dekat, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasetiantono, menilai redenominasi sebaiknya dilakukan saat pertumbuhan ekonomi stabil di atas enam persen. Selain itu, nilai tukar rupiah saat ini terbilang masih rentan. Kemudian, redenominasi juga harus menunggu hingga neraca perdagangan dan cadangan devisa yang harus lebih tinggi dan berkualitas. Sehingga, dirinya kurang setuju jika redenominasi dilakukan dalam waktu dekat ini. Alasan itu juga yang membuat Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR-RI) belum memasukkan RUU Redenominasi ke dalam prolegnas 2017 silam.
Sebelum melakukan redenominasi, pemerintah harus terlebih dulu memprediksi kondisi perekonomian beberapa tahun ke depan. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat menjadi faktor yang tidak kalah penting agar tidak adanya kekeliruan dan kesalahpahaman masyarakat yang nantinya bisa menimbulkan inflasi seperti yang terjadi pada tahun 1966 yang juga menyebabkan redenominasi di Indonesia gagal.

Ditulis Oleh : Oza Rahmah Tiara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *