Kajian Umum Ekonomi (KUE) dilaksanakan secara online di Grup Whatsapp pada hari Jum’at, 15 Mei 2020. Kegiatan ini bertemakan “Mata Uang Digital Cina Ancam Dolar AS? Apa Dampaknya Bagi Indonesia?” Pemaparan materi disampaikan oleh Nailul Huda, S.E. sebagai Peneliti INDEF 2020. Pada pukul 15.30, acara dibuka oleh Puput Putry El Mushan selaku moderator.
Sebelumnya, pemateri memulai diskusi dengan quote Founder World Economic Forum, Klaus Schwab. Intinya adalah kita semua akan hidup berdampingan dengan teknologi, jadi semuanya harus terbuka dengan perkembangan teknologi. Schwab ini juga yang mencetuskan revolusi industri 4.0. Konten kita kali ini lebih akan detail membahas terlebih dahulu apasih digital economy? digital currency? apa dampaknya? sebelum kita membahas mengenai perkembangan digital currency milik China.
Kita semua pasti tahu Cristiano Ronaldo. Ternyata, ia mendapatkan penghasilan lebih besar dari sektor ekonomi digital dibandingkan dengan menjadi pemain bola. Begitu juga dengan perubahan pola antar generasi dimana saat ini generasi muda lebih banyak menonton youtube dimbaningkan dengan TV. Saat ini dunia memasuki industri yang berbasiskan digital economy dan online economy. Dunia sudah tidak terbatas lagi oleh batas negara karena adanya globalisasi dan teknologi. Jadi saat ini zamannya digital economy dan online economy.
Digital economy di Indonesia dan ASEAN mengalami peningkatan pesat dimana pertumbuhan digital ekonomi di Indonesai mencapai 133 persen dan kontribusi digital ekonomi akan mencapai 9.3 persen dari total PDB Indonesia di tahun 2025. UNCTAD mencatat ada 7 jenis digital ekonomi. Pertama, Blockchain Technologies, Kedua Three-Dimensional Printing, ketiga Internet of Things, keempat 5G Mobile Broadband, kelima Artificial Intelligence and Data Analytics, Automation and Robotics, dan Cloud Computing. Kali ini kita akan lebih membahas yang pertama yaitu Blockchain Technologies.
Blockchain teknologies adalah sebuah sistem database yang mencatat histori transaksi yang berurutan dalam sebuah database yang sangat besar dan rahasia. Blockchain tercatat mempunyai kelebihan yaitu, lebih murah, transaksi lebih dipercaya, tidak ada biaya pihak ketiga, tracking pada saat itu juga, dan keamanan. Sekarang digital currency adalah perangkat lunak yang melakukan transaksi dan buku besar (Swan dalam Glass, 2017). Semuanya pasti udah pernah mendengar beberapa perusahaan digital currency seperti Bitcoin.
Bitcoin sendiri mempunyai kondisi yang cukup menyakinkan terutama ketika booming investasi lewat bitcoin dimana harga meningkat hingga 400 persen kala itu. Namun seperti umumnya investasi spekulasi, harganya juga merosot tajam. Pertumbuhan besaran Bitcoin juga sangat fantastis mencapai 325 persen. Artinya masyarakat dunia mulai melirik Bitcoin dan Digital Currency lainnya sebagai alat investasi baru atau alat pembayaran baru.
Beberapa dampak positif dari Bitcoin yaitu tidak ada inflasi, biaya operasional rendah, dan tidak ada batasan pemakaian. Sedangkan dampak negatifnya tentu saja tidak stabil di pasar uang dan risiko investasi seperti tadi harga yang tiba-tiba jatuh. Di China sendiri, penerapan digital sebagai alat transaksi sudah lama berjalan. Pertumbuhan pengguna digital payment dalam beberapa tahun terakhir meningkat tajam. Penggunaan digital currency di China relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya seperti Amerika Serikat, India, dan China.
Sewaktu saya ke China bulan November tahun lalu, sebelum pandemi, Saya melihat banyak sekali merchant-merchant seperti vending machine yang menjual minuman ataupun mainan menggunakan WeChatPat atau Tenpay dan Alipay. Keduanya sangat populer di China dan berencana juga masuk ke Indonesia. Penggunaan kedua aplikasipun terbilang ketat karena memerlukan verifikasi langsung dari “orang China”. Bank Sentral di China akhirnya mengeluarkan kebijakan Digital Currency Electronic Payment (DCEP) dimana merupakan program nasional yang mengadopsi blockchain dan cryptographic technology. DCEP ini ingin menyaingi Libra dan Bitcoin yang dilarang di China, serta ingin mematahkan hegemoni dari USD (akan dibahas di sub bab selanjutnya).
Terdapat perbedaan mendasar dari DCEP, Libra, dan Bitcoin. Perbedaannya adalah nilai DCEP akan disokong oleh Renmibi (mata uang domestik China) sedangkan libra dan bitcoin tidak mempunyai penyokong nilai yang kuat. DCEP pun akan dibuat dan diatur oleh Bank Sentral China bukan oleh pengguna masing-masing. DCEP juga yang legal di China, Bitcoin tidak. DCEP juga bisa memonitor penggunaan uang agar terhindar dari penggunaan kejahatan melalui uang. DCEP juga bisa membuat biaya menyetak uang lebih rendah.
Jadi prosesnya adalah Central Bank Digital Currency (CBDC) “mencetak” uang digital dan disalurkan ke Commercial Bank dan publik (melalui pihak ketiga seperti WeChatPay dan Alipay) terus masyarakat bisa menggunakan untuk berbagai keperluan. Mata uang digital China ini ternyata bisa menyaingi USD karena 1) ada proyek Belt and Road Initiatives (menghubungkan China dengan Eropa dan Afrika) yang bisa menjadikan DCEP sebagai alat transaksi, 2) lebih murah dibandingkan dengan Cash, 3) penggunaan pembayaran online akan meningkat seiring dengan pandemi Covid-19, 4) Masyarakat Amerika tidak peduli dengan cashless, dan 5) China bisa menjadi negara superpower.
Saat ini, USD merupakan mata uang yang paling superpower dibandingkan mata uang negara lainnya. 64 persen perdagangan internasional menggunakan USD. Hanya 2 persen yang menggunakan China Yuan. Ini memberikan AS kekuatan untuk mempengaruhi ekonomi negara-negara lainnya termasuk Indonesia. Namun di satu sisi, China menjadi negara yang paling banyak transaksi perdagangan dengan negara lain. 12 persen perdagangan internasional melibatkan China. Amerika di angka 11 persen. Indonesia hanya 1 persen. Jadi bagi China, rugi jika menggunakan USD sebagai alat transaksi dimana merekalah pelaku utama perdagangan internasional. Beberapa kalo China mengupayakan penggunaan Yuan China namun tidak berhasil. Kali ini China menggunakan mata uang digital karena diyakin mampu menyaingi USD. Sedangkan di sisi lain warga Amerika tidak suka dengan Cashless sehingga menjadi peluang bagi China untuk mengembangkan mata uang digitalnya.
Dampaknya bagi Indonesia tentu saja ada. Menurut data ITC, China merupakan negara dengan transaksi terbanyak dengan Indonesia. 20 persen perdagangan internasional Indonesia berasal dari China. Banyak barang yang saat ini kita gunakan berasal dari China. Amerika hanya 8 persen. Selain itu, USD juga menunjukkan keperkasaannya terhadap IDR maupun CNY. Kalau temen-temen ingat beberapa waktu yang lalu nilai tukar Rupiah ke USD mendekati 17.000. Di sisi lain nilai tukar CNY ke IDR relatif volatile namun masih dalam rentang yang terjangkau. Ini bisa menjadi sinyal baik bagi Indonesia. Dampaknya adalah permintaan dolar akan menurun dan rupiah akan menguat terhadap USD. Selain itu, peran Amerika dalam perdagangan akan digeser oleh China. Di sisi lain, pengembangan ekonomi digital akan semakin menguat seiring dengan penerapan DCEP ini. Namun sayangnya impor dari China akan meningkat ke dalam negeri.
Semakin lama, memang digital currency akan meningkat tajam. Statistika memprediksi peningkatan digital currency akan mencapai 22.6 persen pada tahun 2024. Indonesia mungkin bisa mengadopsi sistem ini agar tidak selalu tertinggal.
Setelah materi dipaparkan dalam bentuk gambar dan grafik, pada pukul 16.36, moderator memberikan sesi tanya jawab dengan ketentuan maksimal 3 peserta.
PERTANYAAN:
1. Nama : Iffah Karimah
Pertanyaan : Pada penggunaan uang digital, apakah akan berpotensi mencetak uang “tanpa sengaja” misalnya memanfaatkan celah keamanan untuk membeli minuman gratis, dan sebagainya?
Jawab : Uang Digital yang dicetak berdasarkan prinsip sentralisasi (seperti DCEP) tidak akan dengan mudah seseorang mencetak uang “tanpa sengaja” segalanya bisa diketahui oleh Bank Sentral sana. Pada dasarnya sama seperti uang biasa namun penyalurannya langsung ke uang digital melalui platform masing-masing. Jadi sangat ketat juga.
2. Nama : Ika Jatiningsih
Pertanyaan : Jika dilihat dari presentasi digital currency ini memang sangat baik untuk ekonomi, jika seperti ini memungkinkan sekali digital currency akan menjadi uang masa depan untuk kita, seandainya benar terjadi, apa ada kemungkinan china maupun negara lainnya akan mengurangi atau bahkan memberhentikan pencetakan uang kartal?
Jawab : Pencetakan uang kartal ke depan memang akan berkurang dari sisi jumlah ya. Ke depan penggunaan uang digital akan masif. Selain efisien serta mudh digunakan. Uang digital ternyata mampu menghindarkan orang dari berbagai potensi penularan penyakit menular. Di China penggunaan uang digital dalam pandemi Covid-19 sangat masif.
3. Nama : Sri Azizah Wal Azzah
Pertanyaan : Apakah dengan digitalisasi keuangan akan membuat jumlah peredaran uang bisa dihitung atau malah secara tidak sengaja menyebabkan mata uang tidak bernilai, apalagi uang tersebut tidak mempunyai nilai intrinsik?
Jawab : Digital currency seperti sistem di China akan memberikan otoritas penuh kepada Bank Sentral untuk mengawasi pencetakan, peredaran, bahkan penggunaan uang digital. Jadi sangat diatur jumlahnya sesuai dengan M0 (reserve money). Maka nilai uang relatif akan stabil karena perbandingan DCEP dengan CNY/RMB adalah 1:1.
Setelah sesi tanya jawab berakhir, tibalah di penghujung acara. Selanjutnya, Bapak Naulul Huda memberikan closing statement yaitu, “Perkembangan ekonomi akan semakin maju dengan pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Jadi sebaiknya kita bisa mempersiapkan diri kita untuk bisa beradaptasi. Selamat menunaikan ibadah berbuka puasa. Waspada penyebaran virus corona dengan selalu di rumah saja. Dan sehat selalu”.
You may also like
-
Closing Klinik Prestasi 2024: Membuka Jalan Menuju Karier dan Pertumbuhan Pribadi
-
Press Release Talkshow Erafest Radiovolution
-
KESERUAN ACARA ON THE SPOT (OTS) FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA TAHUN 2024
-
KESERUAN ACARA OPENING KLINIK PRESTASI TAHUN 2024
-
KESERUAN KEGIATAN PAS 2 PKKMB RUMPUN MANAJEMEN 2024 DISERTAI PAPER MOB MOZAIK