Sumber: cnnindonesia.com
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang TPKS pada hari Selasa (12/4). Pengesahan tersebut dilakukan dalam rapat paripurna yang berlangsung di hari yang sama.
Rapat dipimpin oleh ketua DPR, yakni Puan Maharani, yang dihadiri oleh 311 anggota dewan. Sejumlah 51 peserta rapat hadir dalam forum secara fisik dan 225 lainnya secara virtual. Adapun sejumlah 51 anggota dewan lainnya tercatat tidak mengikuti rapat karena izin.
Awalnya, RUU TPKS sendiri bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebelum akhirnya berubah nama menjadi RUU TPKS pada 2021. Pengesahan RUU TPKS pada hari selasa kemarin bukanlah keputusan yang singkat dalam semalam. RUU TPKS telah melalui berbagai macam perjalanan sebelum akhirnya disahkan menjadi UU. Pada tahun 2012, RUU yang saat itu masih disebut RUU PKS mulai digagas, tetapi baru direalisasikan pada awal tahun 2014.
Gagasan tentang RUU PKS tersebut diawali oleh Komnas Perempuan yang menilai bahwa kehadiran RUU tersebut nantinya akan mampu mencegah kekerasan seksual serta memberikan perlindungan terhadap korban. Draf RUU disusun pada tahun 2014 oleh Komnas Perempuan, Forum Pengada Layanan (FPL), dan LBH Apik Jakarta. Selanjutnya, pada tahun 2016 draf tersebut diserahkan kepada pimpinan DPR. Sejak tahun 2016 sampai 2021 RUU PKS juga telah menemui banyak lika-liku seperti perpanjangan waktu pembahasan bahkan penolakan dari sejumlah fraksi.
RUU TPKS yang telah disahkan menjadi UU TPKS mempunyai beberapa poin penting yang diharapkan dapat berjalan efektif untuk mengatasi kasus kekerasan seksual di Indonesia. Beberapa poin tersebut di antaranya terdapat pada Pasal 3 UU TPKS yang menyatakan bahwa tujuan UU TPKS adalah untuk mencegah kekerasan seksual, membantu korban dalam pemulihan, mempromosikan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual, dan untuk memastikan bahwa kekerasan seksual tidak terulang kembali.
Terdapat pula pasal 30 UU TPKS yang mengatur tentang hak korban kekerasan seksual atas reparasi atau kompensasi. Uang restitusi dibayar berdasarkan kesimpulan hakim bahwa pelakunya bersalah. Dengan izin dari pengadilan negeri setempat, penyidik nantinya dapat menyita aset pelaku kekerasan seksual.
Selain itu, menurut Pasal 67 UU TPKS, korban kekerasan seksual mempunyai tiga hak, yaitu hak atas pengobatan, hak atas perlindungan, dan hak untuk direhabilitasi. Negara berkewajiban untuk memenuhi hak-hak tersebut sesuai dengan keadaan dan kebutuhan korban.
Hak atas pengobatan, misalnya, hak untuk memperoleh surat-surat sebagai hasil penanganan, bantuan hukum, dukungan psikologis, perawatan medis, dan hak untuk menghapus konten seksual berbasis elektronik yang melibatkan korban. Hak atas perlindungan mencakup kerahasiaan identitas seseorang, perilaku merendahkan oleh petugas yang menangani kasus, perlindungan terhadap kehilangan pekerjaan, transfer pendidikan, dan akses politik. Selanjutnya, hak atas pemulihan meliputi rehabilitasi medis dan mental, restitusi dari pelaku atau kompensasi dari negara, dan reintegrasi sosial. (RA/REI)
You may also like
-
Kok Bisa?! Ini Dia 5 Tradisi Unik dan Menarik dari Belahan Dunia yang Wajib Kalian Kunjungi!
-
Viral Poster Ajakan Berobat ke Malaysia, Indonesia Rugi Triliunan?
-
TRAGIS! WALI KOTA MEKSIKO DIPENGGAL KEPALANYA TAK LAMA SETELAH MENJABAT
-
Persiapan Timnas Senior Indonesia Jelang Duel Sengit Melawan Bahrain di Kualifikasi Piala Dunia!
-
Jalanan Jadi Ruang Asap: Bahaya Merokok Sambil Mengendarai Motor