Perusahaan rintisan atau startup sedang ramai diperbincangkan karena beberapa startup di Indonesia melakukan PHK terhadap karyawannya dalam waktu yang berdekatan. Dengan melihat fenomena PHK yang ada sekarang ini, dapat dibilang hari-hari keemasan startup sudah mulai berakhir.
Dana startup sendiri biasanya dibantu oleh investor. Dana tersebut banyak yang digunakan untuk “bakar uang” demi menggaet konsumen baru dengan cepat. Sayangnya, tak semua langkah tersebut berhasil
Itulah sebabnya investor yang sebelumnya bergantung pada daya tarik startup berhenti untuk meningkatkan investasinya. Kondisi ini berdampak pada arus kas terutama untuk biaya tenaga kerja.
Di Indonesia, ada beberapa startup yang melakukan PHK terhadap karyawannya, mulai dari startup pendidikan Zenius Education melakukan PHK terhadap 200 karyawannya. Salah satu alasan perusahaan ini memberhentikan karyawannya adalah situasi ekonomi makro yang saat ini dianggap sebagai yang terburuk dalam beberapa dekade. Untuk beradaptasi dengan kondisi makro ekonomi yang dinamis dan berdampak pada industri, Zenius perlu mengintegrasikan dan mensinergikan proses bisnisnya untuk memastikan keberlanjutannya.
Lalu, ada juga perusahaan Link Aja yang melakukan reorganisasi dan berujung pada PHK. Perusahaan dompet digital di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini merampingkan karyawan untuk bagian teknologi informasi dan menghentikan semua layanan business to consumer serta mulai fokus pada sektor business to business dengan menjadi pemasok untuk hotel, restoran, katering, dan kafe.
Perusahaan JD.ID juga melakukan upaya perbaikan manajemen yang berujung PHK demi bisa beradaptasi dengan dinamika pasar e-commerce di Indonesia. Upaya improvisasi yang dilakukan JD.ID meliputi peninjauan, adaptasi, inovasi bisnis, dan strategi bisnis.
Peristiwa yang tengah melanda industry startup ini dikhawatirkan terjadi karena adanya bubble burst atau gelembung ekonomi pecah. Dilansir dari Investopedia.com, bubble burst adalah istilah untuk pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan peningkatan pesat nilai pasar, terutama di kelas aset yang jauh lebih maju daripada fundamental. Permintaan yang spekulatif menaikkan harga alih-alih nilai intrinsik.
Kenaikan harga yang cepat, volume perdagangan yang tinggi, dan penyebaran dari mulut ke mulut adalah ciri khas bubble burst. Dengan demikian, bubble brust terjadi saat harga barang melonjak tinggi di atas nilai riil barang tersebut. Fenomena ini biasanya dikaitkan dengan perubahan perilaku investor. Jadi, ini adalah sebuah fenomena yang tumbuh dengan sangat cepat yang mempengaruhi nilai pasar.(DHV/REI)