Seruan Aksi Nasional “Peringatan Darurat” pada 22 Agustus 2024 merupakan respons sebagai bentuk protes atas tindakan DPR yang dinilai mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 serta meminta untuk membatalkan revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Seruan aksi ini tidak hanya diikuti oleh mahasiswa saja, melainkan seluruh elemen seperti buruh hingga sederet influencer turut turun dalam aksi tersebut. Tidak hanya itu, media sosial pun diramaikan dengan gambar dan video lambang Garuda berlatarkan biru dan bertuliskan ”Peringatan Darurat” serta tagar #KawalPutusanMK. Akar permasalahan ini berawal dari Putusan MK dan tindakan DPR yang mengadakan rapat secara tiba-tiba dan terkesan terburu-buru setelah Putusan MK mengenai Kepala Daerah terbit. Lantas, apa sebenarnya yang terjadi hingga terdapat demonstrasi besar-besaran? Apa Putusan MK yang membuat DPR mengadakan rapat keesokan harinya? Apa saja tuntutan yang para demonstran ingin sampaikan?
Kejadian ini berawal ketika Mahkamah Konstitusi mengadakan putusan sidang perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 pada Selasa, 20 Agustus 2024 dan mengabulkan sebagian gugatan perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-undang Pilkada, yakni sebagai berikut:
- provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut;
- provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut;
- provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut; dan
- dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut.
Dalam hal ini, MK menurunkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah, seperti di Jakarta dari 25% menjadi minimal 7,5% dan menetapkan batas minimum calon gubernur dan wakil gubernur menjadi 30 tahun saat pendaftaran, bukan pelantikan. Namun, terdapat keputusan MA terkait hal ini, yakni minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih. Keesokan harinya pada 21 Agustus 2024, DPR segera mengadakan rapat untuk membahas hal ini. Rapat dilaksanakan 3 kali, yaitu pada pukul 10.00 WIB dilaksanakan rapat tentang pembahasan aturan ambang batas, pukul 13.00 WIB dilaksanakan rapat mengenai pembahasan revisi Undang-undang Pilkada, dan rapat ketiga pada pukul 19.00 WIB yang akan diselenggarakan rapat kerja dengan pemerintah dan DPR untuk pengambilan keputusan. Kemudian, diadakan rapat paripurna pengesahan revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada hari Kamis, 22 Agustus 2024 pukul 09.30 WIB namun rapat tersebut ditunda karena tidak memenuhi aturan dan tata tertib yang berlaku, yakni tidak memenuhi kuota forum (jumlah peserta rapat yang hadir tidak terpenuhi). Revisi tersebut menganulir putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas ambang pencalonan kepala daerah hingga syarat minimal usia calon kepala daerah. Dalam hal ini, syarat minimal usia calon kepala daerah mengikuti putusan MA bukan putusan MK.
DPR yang menggelar rapat untuk membahas revisi Undang-undang Pilkada ini menghasilkan keputusan yang berdampak langsung pada masyarakat. Keputusan tersebut memunculkan beragam reaksi dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk mahasiswa. Mahasiswa sebagai kelompok yang kerap menjadi motor perubahan sosial, turut menyuarakan pendapatnya terkait keputusan DPR tersebut. Banyak mahasiswa yang merasa perlu untuk melakukan demonstrasi dan aksi unjuk rasa sebagai bentuk protes dan penolakan terhadap putusan tersebut.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Mahasiswa merasa perlu untuk turun aksi karena menilai DPR yang menganulir keputusan MK tersebut sebagai ancaman serius terhadap demokrasi yang mereka perjuangkan. Mahasiswa berpendapat bahwa dengan menaikkan ambang batas pencalonan semakin mempersempit ruang partisipasi politik di masyarakat, khususnya kelompok minoritas. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan persamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu, terjadi seruan aksi nasional untuk menegakkan demokrasi. Tuntutan yang diserukan yaitu:
- tolak intervensi DPR terhadap putusan MK mengenai ambang batas usia calon;
- tolak intervensi pemerintah terhadap Pemilu/Pilkada;
- tolak politik dinasti; dan
- turunkan rezim jahat Jokowi.
Para demonstran yang menolak Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) merasa perlu turun ke jalan untuk mengawal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena mereka khawatir revisi ini akan merusak kualitas demokrasi di Indonesia. Mereka menilai bahwa perubahan pada UU Pilkada dapat membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan dan mengancam transparansi, serta keadilan dalam pemilihan kepala daerah. Bagi mereka, penting untuk memastikan bahwa proses pemilihan tetap bersih dan demokratis.
Aksi demonstrasi ini juga menjadi sarana bagi para demonstran untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan mereka. Mereka ingin memastikan bahwa suara rakyat didengar dan bahwa kepentingan masyarakat sipil diutamakan dalam kebijakan pemerintah. Dengan turun ke jalan, mereka berharap dapat menarik perhatian para pengambil keputusan dan menjaga agar proses demokrasi di Indonesia tetap kuat dan berintegritas.
Para demonstran merasa bahwa jika revisi UU Pilkada tetap dilanjutkan, maka proses demokrasi di Indonesia akan terancam serta transparansi dan keadilan dalam pemilihan kepala daerah akan mengalami penurunan. Mereka juga khawatir revisi ini akan merusak fondasi hukum dan memperlemah kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Bagi mereka, mempertahankan kualitas demokrasi adalah hal yang sangat penting, dan revisi UU Pilkada dianggap sebagai ancaman serius terhadap prinsip-prinsip tersebut. Selain itu, mereka percaya bahwa perubahan yang diusulkan dapat mengganggu stabilitas hukum dan memperlemah mekanisme check and balance dalam pemerintahan. Demonstrasi yang mereka lakukan adalah bentuk perlawanan terhadap kemungkinan terjadinya hal-hal tersebut, namun mereka juga sadar akan risiko eskalasi konflik yang dapat merugikan semua pihak.
Hidup Pers Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!
(ANH/EHP/SY/NBL)
You may also like
-
Melestarikan Warisan Budaya Tradisional Jawa, Transvision Meresmikan Channel Jowo
-
Sebelum 2024 Berakhir, Ini Dia Film dan Serial TV yang Wajib Ditonton!
-
Jalan Ninja Mahasiswa: Rahasia Cari Cuan Tambahan Lewat Wirausaha, Peluang Besar atau Risiko Besar?
-
Impact Besar Produk Lokal terhadap Perekonomian Nasional
-
Keceriaan dan Kenangan dalam Perayaan Budaya Unik Dunia