EMW 2ND WINNER : Gizi Bagi Akal

Oleh: Rizqi Choiriah
“Tentu
tidak sama orang yang tahu dengan yang tidak tahu. Jika yang tidak tahu
berbicara maka hasilnya tong kosong nyaring bunyinya. Lain halnya dengan yang
tahu, akan disaring bunyinya.”
Penuntut
ilmu sejatinya mencintai buku. Kecintaannya menjadikan buku sebagai kebutuhan
yang harus disegerakan. Butuhnya pada buku sepeti butuhnya dahaga akan air.
Haus. Air akan dicari sampai hilang dahaga. Begitu pula, seorang pelajar yang
selalu haus akan ilmu. Baginya ilmu adalah sumber kehidupan, yang didapatkannya
melalui membaca, sedangkan buku ialah kendaraan menujunya.
Meski
kalah portable dibanding buku
elektronik (e-book), tetapi buku teks
lebih
mudah diingat kata-katanya, halamannya, serta gambarnya. Kaum intelek harus melek buku. Jangan ngaku kaum
intelek kalau jinjingannya sebatas gadget, dan isi tasnya sekadar
makanan, rokok, make up,
game,
dan komik.
Kebodohan Adalah Sumber Kerusakan
Sebagaimana
perkataan Ibnul Qoyyim,
“Kebodohan adalah sumber kerusakan.” Jika begitu, maka yang
harus diobati adalah penyakit bodoh yang telah mewabah di masyarakat. Jika suatu persoalan diserahkan bukan pada ahlinya,
maka yang terjadi adalah kerusakan. Masalah tidak terselesaikan, malah akan timbul
masalah baru
Pernah dengar Sahabat? Seseorang
tergantung dari apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia baca. Membaca buku seperti memberi gizi bagi akal. Ia asupan yang sehat dan
tepat, sehingga setelah dicerna akan menghasilkan ide yang bisa dipertanggungjawabkan. Membaca buku juga merupakan salah satu
faktor pembentuk kepribadian. Kepribadian di sini diwujudkan melalui pola pikir
dan cara bertindak. Misalnya saja, beberapa kawan, yang bawaannya buku filsafat
maka bicaranya tentang filsafat. Sebagaimana yang bawaannya buku pendidikan
maka ia mampu mengkritisi masalah pendidikan.
Guruku
ialah  orang yang waktunya mampu dihabiskan
untuk berduaan dengan buku. Selalu ingat perkataan ulama yang diwariskan
melalui lisannya, bahwa tidak akan didapat ilmu dari badan yang terlalu banyak
beristirahat.
Banyak cita yang ingin sampai pada
puncaknya. Ingin punya ini itu. Mimpi
yang banyak di-amin-kan orang ketika diri ingin
mempunyai perpustakaan, agar
bermanfaat bagi orang lain.
Namun, harap hanya harap. Minat baca saja tak punya. Bisa-bisa jadi seperti lilin
yang menerangi sekitar sedang diri habis terbakar.
Sepertinya
badanku terlalu banyak beristirahat karena lena kemalasan. Lambungku terlalu
dekat dengan kasur, sedangkan buku ku tertata rapi di raknya. Atau saat sedang rajinnya,
buku ikut terserak di alas tempat ku tidur. Dari lubuk hati terdalam, sangat
ingin mencintai buku. Namun rasa malas masih berusaha untuk dilawan. Biar saja,
jika sekarang porsi membaca hanya 5 menit dan tidurnya malah 5 jam. Memang
harus dipaksa. Akan terus dipaksa bagaimana caranya aku mampu bertahan memegang
buku selama minimal setengah jam saja. Lalu meningkat dan meningkat. Bagi pemula
sepertiku, itu sangat sulit, tetapi pasti bisa.
Jangan Jadi Penonton Buku!
Sebagaimana
anggapan masyarakat bahwa buku adalah jendela ilmu, sumbernya pengetahuan, dan
membacanya akan menambah wawasan. Aku pun mengiyakannya. Namun, aku tidak ingin
menjadi pembaca buku yang hanya menjadi ‘penonton’. Dia hanya menonton halaman
demi halaman, ketika telah sampai halaman terakhir, sudah selesai saja. Bukunya
dibiarkan tergeletak tak beraturan, tidak diulang, atau dipinjamkan tanpa tahu
kapan dikembalikan.
Kita
harus menjadi pemain yang memerankan (baca: mengamalkan) setiap instruksi
kebaikan  yang penulis paparkan  dalam rangkaian diksinya. Ilmu
itu bukan yang dikoleksi, tetapi yang diamalkan, ini yang menginspirasiku. Aku meyakini, setiap buku memiliki pesannya
masing-masing. Lalu bagaimana menjadi pemain? Aku harus banyak mendatangi
kajian-kajian atau diskusi yang di sana terdapat ahli ilmu. Sebagaimana setiap
pemain membutuhkan pelatih, maka membaca juga membutuhkan pembimbing. Hindari
membaca buku tanpa bimbingan, karena salah-salah, buku dapat menyesatkanmu.
Membaca
buku menjadi banyak tahu. Tentu tidak sama orang yang tahu dengan yang tidak
tahu. Jika yang tidak tahu berbicara maka hasilnya tong kosong nyaring
bunyinya. Lain halnya dengan yang tahu, akan disaring bunyinya.
Bangsaku Hebat
Bangsaku
akan menjadi kumpulan orang hebat jika mau bertaubat dari lalainya membaca
buku. Ketahuilah, orang hebat bukan orang yang jago berdebat.Tidak peduli
argumennya banyak, tetapi sejatinya jauh 
dari ilmu. Hanya bermodalkan berani tampil, dan berani bicara. Lalu apa
bedanya dengan anjing yang menggonggong?
Membaca
buku akan menambah perbendaharaan kata. Sehingga, setiap kata pada lisan akan
terkuatkan menjadi bermanfaat. Terlihat lebih mahal dan intelek. Kalimatnya
sederhana, namun membekas. Kata-katanya ringan, namun berpengaruh.
Banyak
orang-orang hebat, dalam larutnya malam mata masih terjaga hanya untuk membaca
buku. Masa lalunya bersama keprihatinan, namun tetap berusaha menabung untuk
terpuaskannya dahaga ilmu. Perutnya rela lapar demi mengenyangkan akal.
Jangan
larut dalam semangat kebencian saat negara kita tengah diserang. Lalu dengan
mudahnya menyatakan perang, padahal badan tidak sekuat baja, dan akal hanya
berisi canda. Katanya otak bangsa sudah dicuci dengan asupan kebarat-baratan.
Jelaslah dicuci, karena dipikir bangsa ini kotor (baca:bodoh).
Jadikan malu
sebagai perubahan. Jangan pedulikan sebutan ‘bibliofil’, ‘kutu buku’, ‘nerd’ dan semacamnya. Atau yang
menjinjing buku dengan cover layu malah dibilang orang dulu. Tidak, justru kita
harus bangga bahwa kita dapat menikmati kelezatan ilmu, sedangkan mereka tidak.
Dengannya kita mengisi kemerdekaan, berjuang memerangi kebodohan, dan berkarya
dengan ilmu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *