Mudik dan Geliat Ekonomi Daerah

sumber. Warta Kota

Oleh. M. Rifki Fadilah, Peneliti
pada Fakultas Ekonomi UNJ

            Tak terasa bulan Ramadan segera
berakhir. Kenaikan harga kebutuhan pokok, inflasi musiman, hingga anomali
kenaikan harga daging menjadi bait-bait lantunan lagu yang mengiringi jalannya bulan penuh ampunan ini. Disetiap akhir
Ramadan nanti semua lapisan masyarakat akan menyongsong sebuah hari baru. Hari
yang menjadi titik kulminasi untuk sebuah harapan kehidupan yang lebih baik
kedepannya, Idul Fitri.
            Ada satu fenomena yang sudah menjadi
potret dialektika budaya sejak bertahun-tahun lalu yang wajib dilakoni oleh
masyarakat kita disetiap menjelang Idul Fitri, yakni Mudik atau pulang kampung.
Mudik menjadi simbol kerinduan akan kampung halaman yang menetralisir rasa
kangen, bahkan menjadi pemanis hari kemenangan. Dalam konteks keberagamaan,
Said Aqil Siroj, Ketua Pengurus Besar Nahdatul ‘Ulama, memposisikan mudik
sebagai kembali ke fitrah sebagai upaya kesalehan yang bersifat
spritirual-vertikal yang konkret, dimaknai lewat jalan kesalehan sosio-horisontal.
Silahraturahmi menjadi perantara sekaligus output yang dihasilkan dari mudik.
            Dalam konteks sosio-horisontal,
tradisi mudik dapat dijadikan cermin pasang-surutnya kehidupan. Salah satu
indikatornya adalah jumlah pemudik yang fluktuatif setiap tahunnya. Meskipun besarnya
jumlah pemudik tidak melulu menjadi cermin kemajuan, namun sepertinya hal ini sudah
terpatri dalam stigma masyarakat semakin banyak orang yang mudik menunjukkan
semakin mapannya kondisi kehidupan mereka di tempat perantauannya. Pada tahun
ini Kementrian Perhubungan (2016) menyebut diperkirakan jumlah pemudik akan
mencapai 26,11 juta orang. 
            Banyaknya jumlah pemudik ini dikarenakan
mudik ke kampung halaman belum bisa digantikan dengan kemajuan teknologi.
Meskipun kita sudah memasuki era serba digital, tetapi dalam tradisi mudik
terdapat beberapa aspek yang tidak dapat disubtitusikan dengan kecanggihan
teknologi. Mudik juga sebagai momentum untuk memperkuat modal sosial yang di
dalam masyarakat.  
Mudik Dan Modal Pembangunan Daerah
            Tradisi mudik memiliki potensi besar
untuk terjadinya peningkatan modal pembangunan perekonomian daerah. Hal ini
dapat terjadi karena adanya circular flow
serta sumber daya berbentuk materil dan pemikiran dari kota ke desa. Proses ini
kemudian jelas membuka kesempatan bagi daerah untuk mendapatkan pemasukan
non-pendapatan asli daerah (PAD). Kementrian Perhubungan (2015) mencatat 11,36
juta orang menjalankan aktivitas mudik pada musim lebaran 2015 lalu. Tentunya
angka ini akan memberikan multiplier
effect
terhadap arus perputaran uang. Hal ini diamini oleh Bank Indonesia
yang mencatat kebutuhan dana lebaran tahun 2015 silam sekitar Rp 125,2 triliun
Rupiah.
            Momentum mudik lebaran juga manyulut
semangat membangun geliat ekonomi daerah yang selama ini tertinggal dari perkotaan.
Ada beberapa sektor yang berpotensi mendulang geliat ekonomi daerah, salah
satunya sektor Pariwisata. Seperti pepatah setali tiga uang, bagi para pemudik,
momentum pulang kampung ini tidak hanya dijadikan ajang silahturahmi bertemu
sanak saudara dan melepas kangen. Biasanya pemudik juga akan menikmati libur
lebaran dengan berkunjung ke objek wisata di kampung halamannya. Berdasarkan
data Kementrian Pariwisata (2015) menyebut bahwa perputaran uang dari pemudik
yang menjadi wisatawan nusantara mencapai Rp 800.000 per orang per hari. Dalam
hal ini Pemerintah daerah harus mengambil langkah strategis untuk memaksimalkan
potensi tempat-tempat wisata di daerahnya untuk mendulang pundi-pundi pemasukan
daerah di musim mudik tahun ini. Pemerintah juga dituntut untuk mampu menunjang
objek-objek pariwisata tersebut dengan berbagai fasilitas, sarana, dan prasarana
yang memadai dan baik guna membuat para wisatawan nyaman dan tidak merasa
kecewa terhadap pelayanan objek wisata yang disuguhkan.
            Di sektor industri kreatif juga menilik
peluang dengan penjualan oleh-oleh khas daerah, seperti lukisan, ukiran, patung,
serta produk-produk unik lainnya. Sudah menjadi tradisi berthaun-tahun jika
pergi kemana-mana pasti masyarakat kita cenderung akan mengalokasikan dananya
untuk membeli oleh-oleh supaya bisa dibawa pulang. Alhasil, barang-barang tadi
pasti laris-manis dipasaran dan turut menghidupi kembali sektor industri
kreatif daerah. Fenomena semacam ini di dalam kamus ekonomi dinamakan dengan
redistribusi kekayaan yang dapat dimanfaatkan sebagai bentuk stimulasi
aktivitas produktif masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah.
            Sektor zakat juga tidak boleh luput
dari perhatian pemerintah. Berdasarkan riset lembaga Social Development Dompet
Dhuafa (2013), menunjukkan ada sekitar 52% pemudik yang menunaikan kewajiban
berzakatnya di daerah tujuan. Diperkirakan sebesar Rp 14,7 triliun zakat
mengalir ke daerah tujuan pemudik. Hal ini seyogianya dapat di manfaatkan
pemerintah daerah Indonesia untuk meningkatkan pembangunan pelayanan masyarakat,
misalnya pembangunan Rumah Sakit Daerah, Sekolah-sekolah, hingga fasilitas umum
daerah.         

            Fenomena mudik ini seyogianya dapat dijadikan batu
loncatan khususnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk
sama-sama mengoptimalisasi geliat ekonomi daerah dengan memaksimalkan potensi
wilayahnya di sektor pariwisata, industri kreatif, hingga zakat guna menignkatkan
dan menyokong pembangunan daerah dan mengejar ketertinggalan daerah dengan
wilayah perkotaan. 
dipublikasikan di harian Warta Kota, Senin 04 Juli 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *