Kadal 105: TOKOH INSPIRATOR : PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN

Perempuan
bukan hanya tentang penampilan, tapi juga pengakuan. Perempuan tidak hanya
sebatas jati diri, tapi juga kemampuan menginspirasi. Peradaban bangsa tak
pernah luput dari asa, dan emansipasi selalu mengingatkan pada Kartini.
Raden Ajeng
Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Ayah Kartini adalah seorang
Bupati Jepara, Raden Mas Ario Sosroningrat, sementara ibunya merupakan seorang
guru agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara, M.A. Ngasirah (Nyai
Ngasirah). Awalnya, ayah Kartini hanyalah seorang pembantu bupati di Mayong.
Pada masa itu, apabila seseorang ingin naik jabatan, maka harus memiliki
seorang istri keturunan bangsawan, sementara ibu Kartini hanyalah rakyat biasa.
Oleh karena itu, ayah Kartini kemudian menikah lagi dengan Raden Ajeng Moerjam,
keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah menikah, ayah Kartini diangkat
menjadi Bupati, menggantikan ayah R.A. Moerjam.
Tak disangka,
seorang perempuan biasa seperti Kartini ternyata memiliki pemikiran besar yang
sangat kompleks tentang permasalahan di negerinya pada masa itu. Pemikiran
kompleks yang dimiliki Kartini bermula ketika beliau berusia 12 tahun. Ketika
itu, ayahnya menginginkan agar Kartini tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi karena harus dipingit, padahal sebelumnya beliau sempat
bersekolah di Europese Lagere School (ELS). Akhirnya, waktu Kartini hanya
dihabiskan di rumah. 
            Kartini
kecil yang kala itu berusia 12 tahun, mulai menulis surat untuk menyampaikan
pemikirannya. Kemudian, surat itu dikirim kepada teman-temannya yang berada di
luar negeri, termasuk Belanda. Surat yang ditulis Kartini berisikan beberapa
hal, diantaranya tentang kesengsaraan pribumi, nasib kaum perempuan, pendidikan,
hingga kejahatan yang terjadi di negerinya.
            Melalui
salah satu temannya di Belanda, Rosa Abendanon, Kartini mulai membaca koran dan
buku-buku dari Belanda. Hasil bacaannya itu membuat Kartini memiliki pemikiran
yang lebih besar. Kartini mulai membandingkan kondisi perempuan di Belanda
dengan perempuan di negerinya. Perempuan di Belanda memiliki pemikiran yang
sangat maju, sementara perempuan di negerinya masih bergelut dengan posisi
rendah dalam strata sosial.

Rosa
Abendanon juga merupakan teman Kartini yang mengumpulkan surat-surat Kartini,
yang kemudian dijadikan sebuah buku berjudul “Door Duisternis tot Licht” atau “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.
Mulanya, buku tersebut hanya dapat dibaca oleh orang yang paham bahasa Belanda.
Tetapi, tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan buku tersebut dengan judul “Habis
Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran”. Sayangnya, Kartini tidak memiliki waktu
yang panjang untuk hidup 

Shabrina
Wika Putri (SubDepartemen Penelitian Dan Pengembangan)*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *