KADAL 109: “Komersialisasi Pendidikan di Indonesia”

Samuel Henrico (Staff SubDepartemen
Litbang EC Proaktif)
Pendidikan
sangat berperan penting dalam kehidupan manusia dan bahkan tidak dapat
dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia. Dengan kata lain,
kebutuhan manusia terhadap pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Optimalisasi sistem pendidikan akan
berdampak pada kemajuan pendidikan yang telah di cita-citakan oleh bangsa
Indonesia. Namun, apabila proses pendidikan yang dijalankan tidak berjalan
secara baik maka kemajuan tersebut tidak akan terealisasikan.
Undang-Undang
Sikdiknas nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyatakan, bahwa “Pendidikan
adalah usaha sara dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik  aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Di
Indonesia sendiri, fenomena komersialisasi di dunia pendidikan sedang hangat
dibicarakan. Saat ini, istilah komersialisasi pendidikan mengacu pada dua pengertian yang berbeda. Yang pertama,
komersialisasi pendidikan yang mengacu lembaga pendidikan dengan progeam serta
perlengkapan mahal. Pada pengertian yang pertama, pendidikan hanya dapat
dinikmati oleh sekelompok masyarakat ekonomi kuat, sehingga lembaga seperti ini
tidak dapat disebut dengan istilah komersialisasi karena mereka memang tidak
memperdagangkan pendidikan. Pemungutan biaya yang tinggi adalah untuk
memfasilitasi jasa pendidikan serta menyediakan infrastruktur pendidikan yang
bermutu, serta menyediakan fasilitas teknologi informasi, laboratorium dan
perpustakaan yang baik, serta memberikan kepada para guru atau dosen gaji
menurut standar. Yang kedua, komersialisasi pendidikan yang mengacu kepada
lembaga kependidikan yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang kuliah
saja, tetapi mengabaikan kewajiban-kewajiban pendidikan. Komersialisasi
pendidikan ini biasanya dilakukan oleh lembaga atau sekolah-sekolah yang
menjanjikan pelayanan pendidikan tetapi tidak sepadan dengan uang yang mereka pungut.
Komersialisasi
pendidikan disebabkan oleh 4 aspek. Dari aspek
politik
, komersialisasi terlihat dari Peraturan Pemerintah no. 61 tahung
1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum, pemerintah telah
memberikan otonomi pada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan lembaganya
termasuk pencarian dana bagi biaya operasionalnya. Akibatnya muncul
tempat-tempat pendidikan dengan biaya mahal dan tidak terjangkau oleh golongan
ekonomi lemah.
Dari
aspek budaya, komersialisasi dapat
dilihat dari budaya bangsa kita yang mengagungkan gelar akademis dan sebagai
contoh dihampir setiap dinding rumah yang keluarganya berpendidikan selalu
terpajang foto wisuda anggota keluarga. Budaya berburu gelar ini berkembang
pada lembaga pemerintah yang mengangkat atau mempromosikan pegawai yang
memiliki gelar tinggi tanpa terlebih dahulu diteliti dan dites kemampuan
akademik mereka. Ironisnya program pendidikan seperti ini banyak diminati oleh
pejabat-pejabat. Dengan komersialisasi pendidikan berarti ideologi kapitalisme
telah memasuki ranah Perguruan Tinggi. Ideologi ini dapat memberikan kebebasan
pada individu atau kelompok untuk berusaha, sementara intervensi pemerintah
harus berkurang dan dapat mengakibatkan bergesernya pendidikan demokrasi
Pancasila.
Aspek Ekonomi. Biaya
pendidikan nasional seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi
dengan keluarnya UU no. 20 tahun 2003 pada bab XIV pasal 50 ayat 6 dinyatakan
bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam
mengelola pendidikan lembaganya. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah
membiayai pendidikan nasional, khususnya pendidikan tinggi yang dulu mendapat
subsidi dari pemerintah sebanyak 75% dan 25% lagi berasal dari biaya masyarakat
termasuk dana SPP. Namun subsidi 75% dicabut dan kemudian pemerintah memberikan
Badan Hukum Milik Negara kepada beberapa perguruan tinggi agar mengelola
keuangan masing masing.
Aspek Sosial. Pendidikan
sangat menentukan perubahan strata sosial seseorang. Menurut pendapat Kartono
(1997: 97)9 menyatakan, bahwa tingginya tingkat pendidikan dan
tingginya taraf kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan
bangsa dan negara yang bersangkutan. Namun untuk memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi, terdapat beberapa kendala yang di hadapi seperti tingginya biaya
pendidikan yang menyebabkan masyarakat kurang mampu melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Kendala yang lainnya adalah mengejar dan
mengagungkan gelar akademis yang telah menjadi budaya di tengah-tengah
masyarakat Indonesia. Hal ini mengakibatkan masyarakat melakukan berbagai upaya
untuk mendapatkan gelar akademis tersebut dengan jalan pintas.
Komersialisasi
di perguruan tinggi negeri seharusnya bertujuan untuk mengumpulkan modal guna
membiayai pendidikan mereka. Hal tersebut dapat menjadi positif apabila dalam
pelaksanaannya, modal yang dikumpulkan tersebut diputarkan dengan cara
penanaman modal di bursa atau sertifikat Bank Indonesia, obligasi/swasta yang
dapat memberikan keuntungan hingga dapat dipergunakan di Universitas. Dengan
cara seperti ini modal pokok tidak terpakai. Untuk operasionalnya, harus ada
manajer keuangan yang duduk di Universitas yang ahli dalam pemutaran dan
mencari saluran dana yang dapat memberikan keuntungan untuk membiayai
Universitas. Manajer keuangan sendiri letaknya ada di bawah Rektorat dan harus
mempunyai staf sendiri yang bukan bekerja sambilan. -SH

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

casibom
güvenilir bahis siteleri