KADAL 108: TOKOH NASIONAL: KI HADJAR DEWANTARA

Oleh ; Muhammad Solihin (Staff
Research and Development Department of Econochannel FE UNJ)
“Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing
Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.”
“Di
Depan Memberi Contoh, Di Tengah Memberi Semangat, Di Belakang Memberi Dorongan”
Ki
Hadjar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 di Pakualam, Yogyakarta. Ayahnya bernama
GPH Soerjaningrat dan Ibunya Raden Ayu Sandiah merupakan keluarga bangsawan yang
berasal dari Kadipaten Pakualam, sekaligus cucu dari Pakualam III. Nama kecilnya
adalah Suwardi Soerjaningrat, ia kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa. Alasan
pergantian namanya cukup sederhana, Ia tak ingin lagi menggunakan gelar
kebangswanan agar bisa bebas dekat dengan rakyat baik secara fisik maupun jiwa.
Ki
Hadjar Dewantara merupakan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis,
politisi dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi di Indonesia. Saat masih
muda, ia bekerja sebagai sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar,
antara lain, Sediatomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tegolong penulis handal, tulisan-tulisannya
komunikatif dan tajam dengan semangat anti-kolonial. Selain itu, ia juga aktif
dalam organisasi Boedi Uetomo sebagai seksi propaganda yang bertujuan untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia, khususnya Jawa
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Ki
Hadjar Dewantara pernah tercatat menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu
organisasi multietknik yang didominasi kaum Indonesia yang memperjuangkan
pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker.
Ketika E.D Dekker mendirikan Indische
Partij
, ia tergabung di dalamnya.
Pada
tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara di asingkan ke Pulau Bangka akibat artikel yang
dimuat di surat kabar De Expres pimpinan E.D Dekker pada 13 Juli 1913 berjudul
“Als Ik Eeen Nedelander Was” atau “Seandainya Aku Seorang Belanda”. Isi artikel
ini sangat pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda, karena berisi
sindiran-sindiran ketika Pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan
sumbangan warga, termasuk pribumi untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis.
Beberapa pejabat Hindia Belanda meragukan artikel ini asli dibuat oleh Ki
Hadjar Dewantara, karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisan
sebelumnya. Pengasingannya mendapat protes keras dari sahabatnya E.D Dekker dan
Tjipto Mangoenkoesoemo, namun akhirnya ketiga orang yang dikenal sebagai “Tiga
Serangkai” ini diasingkan ke Belanda.
Masa-masa
pengasingan di Belanda, nampaknya membuka hati Ki Hadjar Dewantara yang
kemudian merintis cita-cita untuk memajukan kaum pribumi melalui pendidikan. Setelah
melewati masa pengasingan, ia bergabung dengan sekolah binaan saudaranya.
Pengalaman mengajar inilah yang kemudian ia gunakan untuk mendirikan National
Onerwijs Instituut Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922. Tamansiswa didirikan
untuk memberikan kesempatan bagi kaum pribumi untuk bisa memperoleh hak
pendidikan seperti halnya kaum priyayi dan orang-orang Belanda. Konsep-konsep
pengajaran ia dapatkan dari ide-ide sejumlah tokoh pendidikan barat, seperti
Froebel dan Montessori serta tokoh pergerakan pendidikan India, Santiniketan.
Tokoh-tokoh itulah yang menginspirasinya dalam mengembangkan sistem pendidikan
sendiri, kemudian lahirlah sebuah semboyan yang kini sangat dikenal di kalangan
Pendidikan Indonesia yaitu Tut Wuri Handayani. Semboyan ini tetap dipakai dalam
sistem pendidikan di Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan
Tamansiswa.
Perjuangan
dan hasil pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam dunia pendidikan sangat
bermanfaat bagi kaum pribumi pada masa itu. Kini semua lapisan masyarakat
mendapatkan hak pendidikan yang sama dan dapat merasakan pendidikan sampai
jenjang yang lebih tinggi. Berkat pengabdian dan jasa-jasa itulah, Ki Hadjar
Dewantara dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari
kelahirannya, 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional.
Pendidikan
merupakan gerbang kejayaan, karena melalui pendidikan semua orang akan
mendapatkan sudut pandang yang berbeda dalam menilai kehidupan. Pada masa Ki
Hadjar Dewantara, pendidikan dijadikan sebagai alat untuk mencapai kemerdekaan.
Kini, pendidikan dijadikan sebagai alat untuk mengisi kemerdekaan. Sejatinya
cita-cita pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara sangatlah sederhana, memberikan
kesempatan yang sama untuk semua orang merasakan pengajaran dari seorang guru
dan memiliki hak untuk mendapatkan informasi pengetahuan dan wawasan yang akan
meningkatkan harkat dan martabat dirinya di lingkungan masyarakat. Namun,
cita-cita ini masih belum terwujud dengan sempurna karena masih kurangnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya sebuah pendidikan untuk generasi muda,
Pemerintah sudah memberikan kesempatan wajib belajar 12 tahun dan berbagai
macam beasiswa untuk perguruan tinggi. Semoga pendidikan di Indonesia menjadi
lebih baik lagi, mengangkat harkat martabat Indonesia di mata dunia.
Selamat
Hari Pendidikan Nasional!-MS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *