Larangan Ekspor Minyak Goreng di Indonesia, Apa Saja Dampaknya?

Sumber : ekonomi.bisnis.com

Presiden Joko Widodo secara tegas akan memberlakukan pelarangan ekspor minyak goreng mulai hari Kamis (28/4/2022) mendatang hingga batas waktu yang belum ditentukan. Kebijakan tersebut diputuskan usai rapat mengenai pemenuhan kebutuhan pokok rakyat utamanya berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri yang diikuti oleh jajaran menteri.

Kebijakan ini diputuskan dengan harapan agar ketersediaan minyak goreng di Indonesia dapat stabil dan dalam harga yang terjangkau. Presiden Joko Widodo juga berjanji bahwa beliau akan memantau langsung dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut.

Dilansir dari beberapa berita bahwa adanya beberapa ahli ekonomi yang kurang setuju dengan kebijakan tersebut karena tidak mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng dan banyak dampak yang akan terjadi bagi negara Indonesia.

Berikut ini adalah dampak kebijakan larangan ekspor minyak goreng:

  1. Tidak membuat harga minyak goreng turun

Sejumlah ahli ekonomi sangat menyayangkan kebijakan yang diputuskan oleh Jokowi mengenai larangan ekspor minyak goreng. Kebijakan tersebut dinilai mengulangi kesalahan setop ekspor mendadak komoditas batu bara yang pernah dilakukan pemerintah pada bulan Januari 2022 lalu.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudistira, harga minyak goreng akan turun jika dibarengi dengan kebijakan Harga Eceran Tinggi (HET) di minyak goreng kemasan.

  1. Negara kehilangan devisa ekspor

Berdasarkan catatan Bhima, pada Maret 22 ekspor CPO nilainya mencapai 3 miliar dolar AS. Apabila kebijakan tersebut dilakukan selama kurun waktu satu bulan penuh, maka negara akan kehilangan devisa ekspor sebesar Rp43 triliun dihitung dari kurs Rp14.436 per dolar AS. Angka tersebut setara 12 persen dari total ekspor nonmigas.

Selain itu, jika kebijakan tersebut efektif untuk dilakukan, kapasitas industri di dalam negeri tidak sanggup menyerap kelebihan pasokan minyak dan akan berdampak terhadap kelebihan pasokan atau over supply.

Bhima juga khawatir kebijakan larangan ekspor minyak goreng akan menimbulkan gelombang protes dari negara-negara ekspor Indonesia, di antaranya ada India, Cina, dan Pakistan yang merupakan tiga negara importir minyak goreng terbesar dalam negeri. Dari dampak tersebut, Bhima menyarankan agar pemerintah mengembalikan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) CPO 20 persen dari total ekspor CPO untuk kebutuhan minyak goreng sudah lebih dari cukup.

  1. Tidak mengatasi kelangkaan minyak goreng

Hal ini karena tingkat konsumsi minyak goreng di Indonesia masih di bawah total produksi minyak yang dihasilkan. Artinya, secara produksi, jumlah tersebut masih mencukupi kebutuhan masyarakat terhadap minyak goreng. Lalu, minyak sawit merupakan minyak goreng yang paling sering digunakan oleh masyarakat di Indonesia.

Dari catatan Badan Pusat Statistika, produksi minyak sawit di Indonesia pada 2020 mencapai 47.034 juta ton. Pada tahun 2021, produksi minyak sawit mencapai 46.888 juta ton. Produksi minyak sawit yang diekspor ke luar negeri yang diberitakan Kompas.com adalah 20.36 juta ton. Dari data tersebut menunjukkan bahwa produksi minyak goreng di Indonesia masih mampu memenuhi keseluruhan konsumsi nasional.

Pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy, menegaskan bahwa pelarangan ekspor minyak goreng yang bertujuan untuk mengatasi kelangkaan tidak membuat harga minyak goreng menjadi turun, melainkan akan menghilangkan pendapatan Indonesia karena turunnya kinerja ekspor minyak sawit di Indonesia.

(RM/RIV)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

casibom
güvenilir bahis siteleri