Ramadhan Tahun Ini

Jika Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terakhirmu, apa yang kamu lakukan?
Seminggu yang lalu aku kehilangan seorang sahabat terbaikku, Rindu namanya. Seorang aktivis wanita yang solehah, akrab dengan anak-anak yatim dan fakir, dan giat mendakwahkan ajaran islam. Pembawaannya kalem dan lembut namun juga tegas. Kegigihannya berdakwah dan ketulusan hatinya membantu sesama benar-benar membuatku kagum padanya sekaligus malu kepada diriku sendiri. 
Rindu, seorang wanita yang jarang bicara namun kadang pandai bergurai, dia adalah sahabat yang menyenangkan. Sahabat yang membuatku tersadar bahwa sudah terlalu banyak kelalaian yang aku lakukan. Namun, Allah memanggilnya pulang. Tepat seminggu sebelum Ramadhan tiba. Innalillahi wa inna illaihi raji’un.
***
Mati. Ya, semua yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Semua dari kita. Aku, kamu, dia, kita, mereka, tidak terkecuali. Ini hanya masalah waktu. Sungguh, kematian adalah sebuah piala bergilir.
Malam ini aku jadi teringat pembicaraanku dengannya dua minggu yang lalu. Ketika itu senja, kami duduk di bangku sebuah halte yang terletak di depan kampus. Menunggu bus untuk pulang.
“Hen, sebentar lagi Ramadhan, udah nyiapin apa aja?”, tanyanya lembut.
“Nyiapin? Emangnya apa yang harus disiapin, Rin?, aku malah bingung.
“Misalnya, kamu udah bikin schedule mau menghabiskan Ramadhan dimana aja? mau muhasabah dimana saat sepuluh malam terakhir? Punya targetan khatam berapa kali selama bulan Ramadhan?”
Aku terdiam sejenak. Entah berpikir entah melamun. Jujur, tak pernah terpikirkan olehku untuk mempersiapkan diri apalagi membuat daftar kegiatan yang harus dilakukan serta targetan yang ingin dicapai selama Ramadhan. 
“Waduh, jujur ya, Rin. Aku ngga pernah kepikiran kesitu. Yang ada di benakku pas Ramadhan tiba ya paling-paling sahur bersama keluarga, punya stok makanan yang lebih, dan shalat tarawih bareng deh.”, aku sama sekali tidak berusaha menutupi apapun. Memang beginilah aku. Kalau kata orang-orang sih, ya begini ini yang namanya “berislam pada umumnya”. Semua ibadah yang dilakukan ya hanya yang bersifat umum, yang sering dilakukan kebanyakan orang. 
Rindu tersenyum mendengar jawabanku. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke langit. Sore itu tidak terlalu ramai, hanya suara ribut lalu lalang kendaraan saja yang terdengar oleh telinga. Bus yang aku tunggu belum juga datang. Memang, bus jurusan Pulogadung-Kalideres cukup jarang lewatnya, bisa setengah jam sekali. Kakaknya Rindu –Kak Lutfi− yang biasa menjemput pun belum juga tiba. Aku diam, menunggu Rindu mengatakan sesuatu. 
“Hen, kalau Ramadhan kali ini adalah Ramadhan terakhir kita, apa akan kita biarkan berlalu sia-sia?“, ia berkata tanpa menoleh ke arahku, tetap memandang langit yang mulai berubah warna menjadi jingga.
“Mak-maksudnya, Rin?”
“Iya, maksudku, seandainya Allah memanggil kita kembali pada-Nya usai Ramadhan tahun ini berakhir, berarti ini adalah Ramadhan terakhir yang bisa kita lalui, kan? Kalau seperti itu bagaimana ya, Hen?”
“Aku…”, belum sempat aku meneruskan jawabanku tiba-tiba bus yang kutunggu muncul.
“Busnya udah datang, Hen. Naik, gih.”
“Eh, iya. Aku duluan ya, Rin. Assalamu’alaykum.”, ucapku sambil berlari kecil mengejar bus yang mulai merayap dan menjauh. “Bang, tunggu!”, sekilas kulihat Rindu yang tersenyum dan melambaikan tangannya kepadaku. “Wa’alaykumsalam. Hati-hati, Hen.”, teriaknya pelan.
Aku tidak pernah menyangka bahwa itu adalah terakhir kali aku melihatnya dalam keadaan baik-baik saja. Melihat senyumnya yang menenangkan, tatapan matanya yang teduh, serta mendengar nasihat yang ia sampaikan dengan lembut namun begitu menohok hati. 
Karena tiga hari setelah pertemuan kami sore itu, tepatnya sebelas hari sebelum Ramadhan tahun ini menyapa, Rindu mengalami kecelakaan
Saat itu ia sedang berboncengan motor dengan Kak Lutfi di bilangan Matraman. Sebuah bus metromini yang melaju cepat menabrak mereka tanpa ampun. Rindu terpelanting jauh, sedangkan Kak Lutfi terseret bersama motornya. Alhamdulillah saat itu keduanya masih hidup. Beberapa tulang Kak Lutfi patah sedangkan Rindu sendiri mengalami koma. Aku shock bukan main. Setiap hari aku mengunjungi Rindu di rumah sakit dan berdoa demi kesembuhannya. “Rindu, cepat sadar ya. Kan kita mau melewati Ramadhan bareng. Kan Rindu mau bantu Heni untuk persiapin diri supaya Ramadhan kali ini bisa maksimal. Kan…”, aku terisak. Rindu tetap diam, matanya tertutup rapat, bibirnya terkatup. Hening. Hanya suara patient monitor saja yang terdengar pelan di ruangan itu. Ruangan putih, dingin. Kedinginan yang menemani hingga tiga hari berikutnya berlalu begitu saja tanpa ada perubahan yang berarti. Hingga hari itu datang, hari ketika semua mata, termasuk mataku tak kuasa menahan liquid yang mengalir deras. Hari itu Jumat, ketika Allah memanggil Rindu pulang.
Sungguh, setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati… (QS Al-Imran : 185)
Lamunanku buyar setelah suara ibuku yang nyaring terdengar memanggilku untuk segera datang ke ruang makan. Sebentar lagi maghrib, katanya. Aku pun bergegas menuju ruang makan sambil bergumam dalam hati, Rindu… semoga kamu tenang disana, kudoakan orang baik sepertimu mendapat tempat yang baik pula di sisi-Nya. Terima kasih kepada Allah yang telah mempertemukanku denganmu. Seorang sahabat yang mengingatkanku betapa di tiap Bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya yang telah berlalu begitu banyak waktu yang terbuang sia-sia, i’tikaf yang terlewat, tilawah yang selalu saja tak sempat kulakukan, betapa sering aku tarawih sekilat mungkin agar bisa cepat-cepat tidur dengan alasan besok sahur, dan berapa banyak makanan enak masuk ke dalam mulut mungilku tanpa merasakan lapar dan haus yang sedang dialami para fakir di sekitar rumahku. Betapa banyak waktu yang kugunakan untuk tidur dengan pembenaran bahwa tidur saat puasa juga ibadah, tanpa ada sedikitpun kesadaran bahwa tilawah, dzikir, dan sholatnya orang puasa, tentulah lebih utama. 
Ya Allah, jika Ramadhan kali ini adalah Ramadhan terakhirku, andai esok tak ada lagi Ramadhan untukku, andai Engkau juga hendak memanggilku pulang, setidaknya aku tak akan menjadikan Ramadhan kali ini berlalu sia-sia. 
Ketika kita mulai berpikir bahwa mungkin saja Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terakhir kita, maka Ramadhan akan terasa berbeda. Malam-malamnya terasa begitu syahdu, takut rasanya berjauhan dengan Allah, indah rasanya berlama-lama di atas sajadah. Siang hari yang terik tidak terasa menumbuhkan emosi dan wajah cemberut karena kita sadar satu senyum manis akan bernilai ibadah. Perut yang kosong, tenggorokan yang kering, hawa nafsu yang terbelenggu menjadikan siang terasa begitu indah untuk dijalani, tak ada amarah, tak ada teriakan dan bentakan tak ada keinginan untuk menyakiti apalagi mendzalimi. Benar, begitu khusu’ karena kesadaran mungkin Ramadhan ini adalah yang terakhir.
Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroni)
Jika Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terakhirmu, apa yang kamu lakukan?
(Andini Nova)
***

Cerpen ini dimuat di Majalah EconoChannel Edisi 11 Tahun 2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

casibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibomcasibom
güvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis sitelerigüvenilir bahis siteleri