sumber gambar. www.finansialku.com
Persoalan tabungan masyarakat Indonesia masih
menjadi banyak perbincangan. Hitungan Dana Moneter Internasional (IMF) yang
dirilis Otoritas Jasa Keuangan (2016), menunjukkan porsi tabungan di Indonesia
masih berada pada level 30,87 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Rata-rata rasio tabungan rumah tangga Indonesia terhadap total pendapatan juga
rendah, hanya sekitar 8.5 persen. Artinya, masyarakat hanya menyisihkan 8,5
persen dari sisa pendapatannya untuk ditabungkan.
menjadi banyak perbincangan. Hitungan Dana Moneter Internasional (IMF) yang
dirilis Otoritas Jasa Keuangan (2016), menunjukkan porsi tabungan di Indonesia
masih berada pada level 30,87 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Rata-rata rasio tabungan rumah tangga Indonesia terhadap total pendapatan juga
rendah, hanya sekitar 8.5 persen. Artinya, masyarakat hanya menyisihkan 8,5
persen dari sisa pendapatannya untuk ditabungkan.
Ditambah
dengan kondisi masyarakat kita di Papua dan daerah timur Indonesia lainnya belum
terjamah oleh sektor perbankan. Faktor susahnya akses ke lokasi menjadi
penyebab banyak perbankan belum mampu menyentuh daerah pelosok. Kemudian,
timbul inisiasi usaha dari pemerintah, melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan
programnya Laku Pandai (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan
Inklusi) yang mengemban misi agar membuat masyarakat dapat mengakses sektor
perbankan, khususnya agar masyarakat mau menabungkan uangnya ke bank. Melalui program ini masyarakat dapat menabungkan uangnya ke agen-agen/warung
yang telah terdaftar pada Bank-bank yang ditunjuk oleh OJK, seperti BTPN, BNI
dan Mandiri.
dengan kondisi masyarakat kita di Papua dan daerah timur Indonesia lainnya belum
terjamah oleh sektor perbankan. Faktor susahnya akses ke lokasi menjadi
penyebab banyak perbankan belum mampu menyentuh daerah pelosok. Kemudian,
timbul inisiasi usaha dari pemerintah, melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan
programnya Laku Pandai (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan
Inklusi) yang mengemban misi agar membuat masyarakat dapat mengakses sektor
perbankan, khususnya agar masyarakat mau menabungkan uangnya ke bank. Melalui program ini masyarakat dapat menabungkan uangnya ke agen-agen/warung
yang telah terdaftar pada Bank-bank yang ditunjuk oleh OJK, seperti BTPN, BNI
dan Mandiri.
Inklusi V.S
Literasi Keuangan
Literasi Keuangan
Menurut Dr. Haryo Kuncoro M.Si, dosen
Fakultas Ekonomi UNJ, inklusi keuangan diartikan sebagai ketercakupan keuangan
sampai lapisan bawah. Melengkapi hal tersebut, Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan
Domisioner OJK, menambahkan bahwa inklusi keuangan adalah kondisi masyarakat
yang memiliki akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas,
aman, nyaman dan biayanya terjangkau guna menyejahterakan masyarakat. Sedangkan
menurut keduanya, literasi keuangan adalah kondisi di mana seseorang yang
memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang keuangan atau edukasi keuangan.
Fakultas Ekonomi UNJ, inklusi keuangan diartikan sebagai ketercakupan keuangan
sampai lapisan bawah. Melengkapi hal tersebut, Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan
Domisioner OJK, menambahkan bahwa inklusi keuangan adalah kondisi masyarakat
yang memiliki akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas,
aman, nyaman dan biayanya terjangkau guna menyejahterakan masyarakat. Sedangkan
menurut keduanya, literasi keuangan adalah kondisi di mana seseorang yang
memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang keuangan atau edukasi keuangan.
Untuk inklusi keuangan, mengutip data Bank
Dunia (2011), menunjukkan saat ini tercatat 36 persen dari total penduduk
Indonesia berusia produktif yang memiliki akses seperti ke rekening perbankan.
Kondisi ini memang lebih unggul dibandingkan oleh Kamboja yang hanya 22 persen,
Myanmar 23 persen, Laos 27 persen, dan Vietnam 31 persen. Menilik data untuk
literasi keuangan, berdasarkan data suvey OJK (2013), mencatat bahwa
pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai literasi keuangan masih sangat rendah,
yaitu sebesar 21 persen dari total penduduk Diperkuat dengan suvey Mastercard
(2013), Indonesia memiliki Index Literasi (IL) keuangan 60 poin, sedangkan
Singapura memiliki IL 72 poin, Malaysia 70 poin, Thailand 68 poin dan Vietnam
63 poin.
Dunia (2011), menunjukkan saat ini tercatat 36 persen dari total penduduk
Indonesia berusia produktif yang memiliki akses seperti ke rekening perbankan.
Kondisi ini memang lebih unggul dibandingkan oleh Kamboja yang hanya 22 persen,
Myanmar 23 persen, Laos 27 persen, dan Vietnam 31 persen. Menilik data untuk
literasi keuangan, berdasarkan data suvey OJK (2013), mencatat bahwa
pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai literasi keuangan masih sangat rendah,
yaitu sebesar 21 persen dari total penduduk Diperkuat dengan suvey Mastercard
(2013), Indonesia memiliki Index Literasi (IL) keuangan 60 poin, sedangkan
Singapura memiliki IL 72 poin, Malaysia 70 poin, Thailand 68 poin dan Vietnam
63 poin.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri membagi
empat bagian literasi keuangan. Yang pertama, Well literate, yakni kondisi dimana masyarakat memiliki pengetahuan
dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan serta produk jasa keuangan,
termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa
keuangan serta memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa
keuangan. Yang kedua, Sufficient
literate, sama halnya dengan Well
literate hanya yang membedakan pada kondisi ini masyarakat tidak memiliki
keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan. Yang ketiga, Less literate, kondisi ini lebih minim
lagi dimana masyarakat hanya memiliki pengetahuan tentang lembaga jasa keuangan
dan produknya. Dan yang keempat, Not
literate, kondisi dimana masyarakat buta akan pengetahuan, dan keterampilan
terhadap dunia keuangan.
empat bagian literasi keuangan. Yang pertama, Well literate, yakni kondisi dimana masyarakat memiliki pengetahuan
dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan serta produk jasa keuangan,
termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa
keuangan serta memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa
keuangan. Yang kedua, Sufficient
literate, sama halnya dengan Well
literate hanya yang membedakan pada kondisi ini masyarakat tidak memiliki
keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan. Yang ketiga, Less literate, kondisi ini lebih minim
lagi dimana masyarakat hanya memiliki pengetahuan tentang lembaga jasa keuangan
dan produknya. Dan yang keempat, Not
literate, kondisi dimana masyarakat buta akan pengetahuan, dan keterampilan
terhadap dunia keuangan.
Yang menjadi perhatian adalah adanya gap antara inklusi keuangan dan literasi keuangan yang masih besar. Hematnya,
meskipun banyak masyarakat yang punya rekening di bank, beli asuransi, tetapi
tingkat literasinya tidak sebanyak tingkat inklusinya. Secara umum literasi
keuangan di Indonesia masih terbilang rendah dan belum dapat mengungguli
negara-negara tetangganya. Masyarakat Indonesia belum terbuka untuk membahas
mengenai keuangan.
meskipun banyak masyarakat yang punya rekening di bank, beli asuransi, tetapi
tingkat literasinya tidak sebanyak tingkat inklusinya. Secara umum literasi
keuangan di Indonesia masih terbilang rendah dan belum dapat mengungguli
negara-negara tetangganya. Masyarakat Indonesia belum terbuka untuk membahas
mengenai keuangan.
Seimbangkan keduanya
Pada prinsipnya inklusi keuangan memang
dibutuhkan Indonesia supaya masyarakat Indonesia yang berlum terjamah atau
memiliki akses ke perbankan dapat memiliki kesempatan tersebut. Dengan semakin
tingginya angka inklusi keuangan tentu saja akan bermultiplier effect terhadap persoalan pembiayaan pembangunan
nasional Indonesia hingga meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Namun, pemerintah
harus ingat, jangan hanya mengejar inklusi keuangan saja, melainkan diperlukan
juga adanya edukasi keuangan atau literasi keuangan untuk masyarakat kita.
dibutuhkan Indonesia supaya masyarakat Indonesia yang berlum terjamah atau
memiliki akses ke perbankan dapat memiliki kesempatan tersebut. Dengan semakin
tingginya angka inklusi keuangan tentu saja akan bermultiplier effect terhadap persoalan pembiayaan pembangunan
nasional Indonesia hingga meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Namun, pemerintah
harus ingat, jangan hanya mengejar inklusi keuangan saja, melainkan diperlukan
juga adanya edukasi keuangan atau literasi keuangan untuk masyarakat kita.
Jomplangnya persentase antara literasi
dan inklusi keuangan membuat OJK harus kerja keras mengejar target 75 persen melek
literasi keuangan di 2019 nanti. Dengan banyaknya masyarakat yang melek
literasi keuangan maka akan mendorong kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Artinya,
masyarakat tidak hanya sekedar tahu produk keuangan tabungan saja melainkan
juga ada polis asuransi, investasi, deposito dan lain sebagainya. Masyarakat
juga paham mengenai risiko yang akan
mereka diterima dari masing-masing instrumen keuangan tersebut.
dan inklusi keuangan membuat OJK harus kerja keras mengejar target 75 persen melek
literasi keuangan di 2019 nanti. Dengan banyaknya masyarakat yang melek
literasi keuangan maka akan mendorong kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Artinya,
masyarakat tidak hanya sekedar tahu produk keuangan tabungan saja melainkan
juga ada polis asuransi, investasi, deposito dan lain sebagainya. Masyarakat
juga paham mengenai risiko yang akan
mereka diterima dari masing-masing instrumen keuangan tersebut.
Pemberian edukasi literasi menjadi
sangat penting agar masyarakat tidak salah kaprah dan tidak terkena jebakan
instrumen keuangan bodong. Dengan tingginya angka literasi keuangan artinya
perlindungan nasabah khususnya nasabah perbankan juga dapat dilakukan secara nano prudential, yang berasal dari diri nasabah
itu sendiri. Intinya, masyarakat jangan hanya dikejar untuk melek inklusi
keuangan. Sementara, masyarakat buta literasi keuangan. Jangan sampai ada yang
mengalami asimetri informasi dan menjadi korban kejahatan industri keuangan
abal-abal. Dengan melek literasi keuangan masyarakat tidak hanya sekedar
mendapatkan akses perbankan saja, melainkan masyarakat juga menjadi cerdas dan dapat
memainkan perannya dalam industri keuangan lainnya. (RF)
sangat penting agar masyarakat tidak salah kaprah dan tidak terkena jebakan
instrumen keuangan bodong. Dengan tingginya angka literasi keuangan artinya
perlindungan nasabah khususnya nasabah perbankan juga dapat dilakukan secara nano prudential, yang berasal dari diri nasabah
itu sendiri. Intinya, masyarakat jangan hanya dikejar untuk melek inklusi
keuangan. Sementara, masyarakat buta literasi keuangan. Jangan sampai ada yang
mengalami asimetri informasi dan menjadi korban kejahatan industri keuangan
abal-abal. Dengan melek literasi keuangan masyarakat tidak hanya sekedar
mendapatkan akses perbankan saja, melainkan masyarakat juga menjadi cerdas dan dapat
memainkan perannya dalam industri keuangan lainnya. (RF)
You may also like
-
Management Event: Talkshow Prestasi 2024
-
International Community Service//DIGITAL SKILLS WORKSHOP FOR ADULTS: MASTERING THE BASICS OF TECHNOLOGY IN THE DIGITAL AGE
-
Simak Rangkaian Kegiatan PAS 1 PKKMB E&A 2024
-
PKKMB UNJ 2024/2025 jadi Momen Bersejarah dengan UNJ Resmi Berstatus PTNBH
-
Mempererat Koneksi: Kunci Sukses di Dunia Kerja