Menjadi Guru, Cita-Cita atau Sekadar Alternatif Terakhir

Tidak ada habisnya jika kita membicarakan persoalan pendidikan, terutama salah satu tokoh yang berperan penting dalam pendidikan tersebut, yaitu seorang guru. Tidaklah mudah untuk menjadi seorang guru. Profesi ini tidak dapat dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki keahlian dan kualifikasi seorang guru. Seperti halnya untuk menjadi seorang dokter memerlukan pendidikan yang tinggi dan biaya yang tidak murah, dan untuk menjadi seorang advokat diperlukan syarat tertentu dengan mengikuti pendidikan khusus advokat, magang di kantor advokat, dan proses lainnya. Begitupun seorang calon guru yang perlu menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) dan mendapatkan sertifikasi guru, di mana para lulusannya nanti diharapkan dapat mengajar di sekolah formal maupun informal.

Namun, tidak semua harapan LPTK sejalan dengan kemauan para lulusan. Seperti yang kita ketahui, hanya sedikit dari mahasiswa keguruan yang akhirnya melabuhkan pilihan hidupnya untuk menjadi guru atau tenaga pengajar di sekolah formal maupun informal. Sebagian besar lainnya lebih memilih untuk menjadi pegawai kantor, bekerja di bank, melanjutkan pendidikan ke jenjang S2, wirausaha, dan profesi lainnya yang tidak berhubungan dengan pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari berbagai pendapat yang mengatakan bahwa menjadi seorang guru itu bukanlah sebuah keinginan atau cita-citanya melainkan hanya pilihan terakhir.

Seseorang yang menjadikan profesi guru sebagai keinginan mereka sejak awal, pastinya akan berbeda dengan mereka yang memaknai profesi guru hanya sebagai pilihan mereka yang terakhir dengan alasan terbatasnya lapangan kerja, lebih baik menjadi guru daripada menganggur. Untuk mereka yang memang memaknai profesi guru sebagai keinginan dan cita-citanya, akan tercermin sikap dan etos kerja dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Mereka akan dengan mudah mentransformasikan materi, ide-ide, bahan ajar, dan pengalaman mereka kepada peserta didik. Hal ini dikarenakan seorang guru tersebut menikmati perannya menjadi guru, sehingga kretifitasnya tidak terbatas dan mudah diimplementasikan. Selain itu, komunikasi dalam pembelajaran yang dibagun antar guru dan peserta didik tersebut dapat berjalan dengan baik dan terciptanya suasana kelas yang kondusif. Bagi peserta didik pun akan merasa nyaman dengan kehadiran sosok guru yang membimbing mereka dengan sepenuh hati.

Lain halnya ketika profesi guru dimaknai hanya sebagai alternatif terakhir. Hal tersebut akan berdampak pada kualitas kegiatan belajar mengajar di dalam kelas dan pembentukan karakter peserta didik. Peserta didik pun tidak nyaman dengan sosok guru tersebut, karena yang bersangkutan tidak mengerti tentang metodologi pembelajaran dan tidak menjiwai dirinya sebagai seorang guru. Memang, karena sejak awal cita-cita hidupnya tidak ingin menjadi seorang guru.

Sejatinya, guru merupakan profesi yang mulia. Meskipun banyak yang berpendapat jika profesi guru hanya alternatif karena tidak adanya lapangan kerja lain, tetap saja kita harus mencintai apa yang telah kita kerjakan. Mungkin perumpamaan “tak kenal maka tak sayang” berlaku di sini. Menjadi guru mungkin bukan cita-cita sebagian orang. Namun, bila ditekuni, hal ini bisa mengasyikan dan tak kalah dari bidang keilmuan lain yang sebelumnya kita inginkan.(SHFR)